Papua Nugini
Tradisi mengawetkan mayat atau yang dikenal dengan istilah mumi kerap
dilakukan oleh bangsa Mesir. Namun, sebuah suku di Papua Nugini pun
memiliki tradisi kuno serupa yaitu tradisi mengawetkan mayat.
Seperti yang dilansir dari Odditycentral, Jumat (11/7/2014),
suku Angga di Papua Nugini memiliki tradisi kuno mengawetkan mayat
dengan teknik yang terbilang cukup unik dan mengerikan yaitu dengan
mengasapi mayat terlebih dulu sebelum dimakamkan lalu ditaruh begitu
saja di tebing yang curam.
Hal itu membuat orang-orang bisa menyaksikan deretan mayat dengan
tubuh memerah yang tergantung di tebing. Meski seram namun sebenarnya
tradisi ini merupakan bentuk penghormatan tertinggi yang dilakukan oleh
suku Angga terhadap yang sudah mati. Suku Angga sudah melakukan praktik
ini selama ratusan tahun di dataran tinggi Morobe.
Prosesnya sendiri terbilang rumit. Mereka pun melakukannya dengan
cermat dan seksama. Pertama-tama, lutut, siku dan kaki mayat disayat
serta lemak di tubuh mayat dikeringkan. Setelah itu bambu yang dilubangi
ditusukkan ke perut mayat untuk mengalirkan darah keluar.
Nantinya darah itu dioleskan ke rambut dan kulit dari kerabat
almarhum. Suku Angga meyakini ritual ini akan memindahkan kekuatan yang
meninggal pada kerabat yang masih hidup. Sedangkan sisa cairan yang
keluar dari tubuh mayat disimpan sebagai minyak goreng.
Selanjutnya mata, mulut dan anus mayat dijahit agar udara tidak masuk
ke tubuh mayat sehingga tidak terjadi pembusukan. Sementara itu telapak
kaki, lidah dan telapak tangan mayat dipotong untuk disajikan kepada
pasangan yang hidup. Lalu sisa lainnya dibuang ke lubang api untuk
diasapi.
Setelah diasapi, tubuh mumi dilapisi lagi dengan tanah liat dan
lempung merah kemudian dipajang di dinding tebing. Guna lempung itu
sebagai kepompong alami yang dapat melindungi tubuh mayat dari
kerusakan. Mumi yang ada di Morobe tercatat berusia 200 tahun dan ada
yang berasal dari era Perang Dunia II.
Lebih lanjut, seiring perkembangan jaman dan masuknya agama Kristen
ke Papua Nugini, proses mumifikasi ini sudah tidak dilakukan lagi.
Mereka sudah melakukan penguburan secara agama Kristen.
Papua Nugini sendiri juga melarangnya pada tahun 1975 setelah
merdeka. Namun ada beberapa suku di desa-desa terpencil yang masih
melakukan ritual ini. (Ars) (Liputan 6)
Post a Comment