Showing posts with label Inspirasi. Show all posts

Kisah kanker darah sembuh, dengan bersedekah
Gambar Illustrasi

Bismillah Walhamdulillah ... Kisah ini didapatkan dari Riyadh Saudi Arabia.
Di sebuah desa Huraimla, ada seorang wanita yang sudah dinyatakan oleh seorang dokter terkena kanker darah atau leukemia, kondisi fisiknya sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Untuk merawat dirinya dan memenuhi semua keperluannya, dia mendatangkan pembantu dari Indonesia. Pembantu ini adalah seorang wanita yang taat beragama.

Satu minggu setelah bekerja, Majikan merasa pekerjaannya dianggap bagus. Majikan wanita selalu memperhatikan apa yang dia kerjakan. Suatu waktu si Majikan memperhatikan kelakukan aneh si pembantu. Pembantunya ini sering sekali ke kamar mandi dan berdiam cukup lama.

Dengan tutur kata yang lemah lembut, si Majikan bertanya." Apa yang sebenarnya engkau lakukan di kamar mandi..?"

Pembantu itu tidak menjawab, tetapi justru menangis tersedu-sedu. Si Majikan menjadi iba dan kemudian menghiburnya sambil menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

Akhirnya Pembantunya itupun bercerita bahwa dirinya baru 20 hari melahirkan anaknya. Karena desakan ekonomi itulah dia terpaksa berangkat bekerja sebagai TKW di Arab Saudi.

"Saya harus membuang air susu saya Bu, kalau tidak dibuang dada saya terasa sesak dan penuh karena tidak disusu oleh anak saya." Air susu yang menumpuk dan tidak tersalurkan itulah yang membuatnya sakit sehingga harus diperas dan dibuang di kamar mandi.

"Subhanalloh, Anda berjuang untuk anak dan keluarga Anda," Kata majikan.
Ternyata Majikannya tidak seburuk seperti yang diceritakan di koran-koran atau televisi. Seketika itu juga si majikan memberikan gajinya secara penuh selama 2 tahun sesuai dengan akad kontraknya dan memberikannya tiket pulang.

"Kamu pulanglah dulu, uang sudah saya berikan penuh untuk 2 tahun kontrakmu, kamu susui anakmu secra penuh selama 2 tahun dan jika kamu ingin kembali bekerja, kamu mengubungi telepon ini sekaligus saya akan mengirim uang untuk tiket keberangkatanmu."

"Subhanalloh, apa Ibu tidak apa-apa saya tinggal..?" Kenangnya dalam hati. Si Majikan waktu itu hanya menggelengkan kepala sambil berkata, "Apa yang kamu tinggal lebih berharga dari pada mengurus saya."

Setelah pembantu itu pulang, majikan mengalami perubahan luar bisa. Pikirannya menjadi terfokus pada kesembuhan dan hatinya menjadi sangat senang karena dapat membantu orang yang sedang kesulitan.

Hari-harinya tidak lagi memikirkan sakitnya lagi, yang ada hanyalah rasa bahagia. Sebulan kemudian dia baru kembali lagi ke rumah sakit untuk kontrol.

Dokter yang menanganinya segera melakukan pemeriksaaan mendetail. Tapi apa yang terjadi..? Dokter yang menangani tidak melihat ada penyakit seperti diagnosa sebelumnya. Dia tidak melihat ada penyakit kanker darah yang diderita pasiennnya. Dokter itu terkagum-kagum, bagaimana mungkin bisa sedasyat dan secepat itu penyakitnya bisa sembuh, apalagi kanker darah. Apa telah terjadi salah diagnosa..???

Akhirnya Dokter itupun bertanya, apa sebenanrnya yang telah dilakukan oleh pasien. Wanita itupun menjawab, "Saya tidak melakukan apa-apa dengan sakit saya, mungkin sedekah yang telah saya lakukan ke pembantu saya telah membantu sembuh, nyatanya setelah saya menolong hati saya menjadi lebih bergairah untuk sembuh dan hidup, saya mempunyai pembantu yang sedang menyusui anaknya tapi susu itu tidak dapat disalurkan dan harus dibuang di kamar mandi. Saya menangis apabila mengingat akan keadaannya, akhirnya pembantu itu saya suruh pulang agar bisa menyalurkan air sususnya dan dia sehat dan anaknya juga bisa sehat. Mungkin dengan itu akhirnya sakit saya sembuh, Dokter."

Dokter itupun akhirnya tersadar, bahwa diagnosa dan sakit apapun bisa sembuh karena Allah SWT memang menghendakinya, "Obatilah orang yang sakit dengan sedekah" Terlepas dari nyata atau nggak kisah ini, tapi banyak lho, kisah-kisah yang membuktikan betapa sakit kita ini bisa disembuhkan dengan sedekah.

Gak percaya...? Buktikan sendiri!

Kisah inspiratif seorang dokter cacat bantu warga tanpa pamrih

Kisah inspiratif yang mengharukan pengabdian seorang dokter cacat baru-baru ini menjadi perhatian dan inspirasi netizen di Tiongkok.

Dokter Ji Zhengyong dari desa Jianxin, Provinsi Chongqing, menjalankan tugas dengan penuh dedikasi dan pengabdian. Selama 12 tahun terakhir, Zhengyong mengunjungi warga yang sakit dan merawat mereka meski harus berjalan dengan kruk.

Ji kehilangan kaki kanannya pada usia 14 karena kecelakaan mobil. Tak mau menyerah pada nasib, ia memutuskan untuk menjadi seorang dokter agar bisa membantu orang lain yang membutuhkan.

Setelah kecelakaan itu, Ji terpaksa berhenti sekolah selama setahun sebelum kembali ke kehidupan normalnya. Meski sekarang harus berjalan mengandalkan sebuah kruk.

Dengan latihan yang tak kenal lelah, Ji akhirnya menjadi mahir menggunakan kruk untuk berjalan di sekitar rumahnya.

Setelah lulus dari sekolah menengah, Ji melanjutkan pendidikan dengan mengambil jurusan pengobatan tradisional Cina di Yuzhou University di Chongqing. Setelah lulus sebagai dokter pada 2003, ia kembali ke kampung halamannya.

Pengabdian dan dedikasi Ji dalam mengobati warga yang sakit di desanya begitu tinggi. Tidak peduli hujan, siang, atau malam, Ji berjalan dengan kruknya sambil membawa kotak obat mendatangi pasiennya.

"Pada awalnya, saya sering jatuh karena belum terbiasa berjalan memakai kruk dengan cepat," kenang Ji. "Bekas luka memar dari jatuh itu terlihat di wajah saya. Tapi pasien membutuhkan saya, jadi tidak peduli seberapa serius cedera yang saya alami, saya harus datang ke rumah mereka."

Karena sering mendapat panggilan ke rumah pasien, ia mencoba sampai secepat mungkin. Selama 12 tahun terakhir melayani para pasien di rumah mereka, Ji telah menghabiskan 45 kruk.

"Saat itu adalah hari pertama Festival Musim Semi," kenang salah satu pasien Ji. "Biasanya, ia tidak selalu pergi untuk setiap panggilan rumah. Tapi saya menderita demam serius sekitar tengah malam. Tepat setelah saya menelepon, Dokter Ji sudah sampai ke rumah saya dalam waktu kurang dari 10 menit."

Selama 12 tahun terakhir, Ji menggratiskan biaya perawatan dan pengobatan sejumlah pasien di desanya. "Beberapa dari mereka sangat miskin dan tidak bisa mendapatkan obat-obatan," katanya. "Etika profesional saya mengharuskan saya untuk membantu pasien ketika mereka menderita. Lagi pula, saya punya penghasilan bulanan lebih dari 3.000 yuan (sekitar Rp 6,5 juta)."

Pasien lain bernama Qin Tiansu terpaksa tinggal di tempat tidur setelah menderita pendarahan otak satu tahun yang lalu. Karena miskin, keluarganya tidak mampu untuk membiayai pengobatannya di rumah sakit.

Setelah mendengar tentang kondisi pasiennya itu, Ji mengunjungi Qin secara teratur untuk merawat dan membawakannya obat-obatan. Dan selama itu, Ji tidak pernah meminta bayaran.

Setelah enam bulan pengobatan, Qin sekarang bisa berjalan lagi. "Dokter Ji adalah penyelamat saya," kata Qin kepada wartawan.

Meskipun menerima penghargaan luar biasa dari warga desa, Ji tidak pernah berhenti meningkatkan keahliannya dalam bidang pengobatan. Dia telah lulus ujian lisensi medis dan melanjutkan pendidikan di Chongqing Medical University.

Penduduk desa melihat Ji seperti malaikat dan memberikan acungan jempol setiap namanya disebut. Menanggapi pujian mereka, Ji mengatakan, "Saya hanya melakukan apa yang seharusnya menjadi tugas seorang dokter. Kepercayaan warga desa adalah hadiah terbesar saya dan melayani mereka dengan lebih baik adalah apa yang bisa saya sumbangkan kembali ke masyarakat!"

Buku Harian Sang Pramugrari yang Mengharukan
Gambar Ilustrasi /Catatan Buku Harian Pramugrari
Teras Berita - Seorang bapak tua yang datang dari desa, membopong sekantung ketela merah kering menempuh jarak jauh pergi menjenguk anaknya yang sedang kuliah di Beijing - China, tindak tanduknya selama di pesawat telah membuat seorang pramugari yang baik hati menjadi terenyuh. Pramugari tersebut menuliskan rasa harunya itu ke dalam buku harian dan disebar luaskan di internet, “Buku Harian Sang Pramugari” ini dengan cepat telah membuat puluhan ribu Netter terharu…

Saya adalah seorang pramugari biasa dari Eastern Airlines, karena masa kerja saya belum lama, jadi belum menjumpai masalah besar yang tidak bisa dilupakan, setiap hari terlewati dengan hal-hal kecil yaitu menuangkan air dan menyuguhkan teh. Tidak ada kegairahan dalam bekerja, sangatlah hambar. Tapi hari ini, tanggal 7 Juni, saya telah menjumpai suatu kejadian yang merubah pemikiran saya terhadap pekerjaan dan pandangan hidup.

Hari ini kami melakukan penerbangan dari Shanghai ke Beijing, penumpang saat itu sangat banyak, satu unit pesawat terisi penuh. Di antara rombongan orang yang naik pesawat ada seorang paman tua dari desa yang tidak menarik perhatian, dia membopong satu karung goni besar di punggungnya, dengan membawa aroma tanah yang khas dari pedesaan.

Saat itu saya sedang berada di depan pintu pesawat untuk menyambut para tamu, pikiran pertama yang menghampiri saya saat itu adalah masyarakat sekarang ini sudah sangat makmur, bahkan seorang paman tua dari desa pun memiliki uang untuk naik pesawat, sungguh royal.

Ketika pesawat sudah mulai terbang datar, kami mulai menuangkan air, hingga tiba di baris kursi ke 20-an, terlihat paman tua tersebut, dia duduk dengan sangat hati-hati, tegak tidak bergerak sama sekali, karung goninya juga tidak diletakkan di tempat bagasi bawaan, tingkah si paman tua itu menggendong karung goni besar sekilas seperti rak penyangga bola dunia (globe), tegak seperti patung.

Saat ditanya mau minum apa, dengan gugup dia menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata tidak mau. Saat hendak dibantu untuk menyimpan karungnya di tempat bagasi dia juga menolak. Terpaksa kami biarkan dia menggendong karung tersebut. Beberapa saat kemudian tiba waktunya untuk membagikan makanan, kami mendapatkan bahwa dia masih duduk dengan tegak dan tidak bergerak sama sekali, kelihatannya sangat gelisah, saat diberi nasi, dia tetap saja menggoyangkan tangannya menolak tanda tidak mau.

Karenanya kepala pramugari datang menghampirinya dengan ramah menanyakan apakah dia sedang sakit. Dengan suara lirih dia berkata ingin ke toilet tapi dia tidak tahu apakah boleh berkeliaran di dalam pesawat, dia takut merusak barang-barang yang ada di dalam pesawat.

Kami memberitahu dia tidak ada masalah dan menyuruh seorang pramugara mengantarkannya ke toilet. Saat menambahkan air untuk kedua kalinya, kami mendapati dirinya sedang mengamati penumpang lain minum air sambil terus menerus menjilat-jilat bibirnya sendiri, karenanya kami lantas menuangkan secangkir teh hangat dan kami letakkan di atas mejanya tanpa bertanya kepadanya.

Siapa sangka tindakan kami ini membuat ia sangat ketakutan dan berkali-kali ia mengatakan tidak perlu, kami pun berkata kepadanya minumlah jika sudah haus. Mendengar demikian dia melakukan tindakan yang jauh lebih mengejutkan lagi, buru-buru dia mengambil segenggam uang dari balik bajunya, semuanya berupa uang koin satu sen-an, dan disodorkan kepada kami. Kami mengatakan kepadanya bahwa minuman ini gratis, dia tidak percaya. Dia sepanjang perjalanan beberapa kali ia masuk ke rumah orang untuk meminta air minum tetapi tidak pernah diberi, bahkan selalu diusir dengan penuh kebencian.

Akhirnya kami baru mengetahui ternyata demi menghemat uang, sepanjang perjalanannya ia sebisa mungkin tidak naik kendaraan dan memaksakan diri berjalan kaki hingga mencapai kota terdekat dengan bandara, barulah dia naik taksi ke bandara, bekal uangnya tidak banyak, maka dia hanya bisa meminta air minum dari depot ke depot sepanjang perjalanan yang dilewatinya. Sayang sekali dia sering sekali diusir pergi, orang-orang menganggapnya pengemis.

Kami menasihatinya selama beberapa waktu lamanya hingga akhirnya dia mau mempercayai kami, duduk, lalu perlahan-lahan meminum tehnya. Kami menanyakan apakah dia lapar, maukah memakan nasi, dia masih tetap saja mengatakan tidak mau. Dia bercerita bahwa ia memiliki 2 orang putra, keduanya bisa diandalkan dan sangat berguna, keduanya diterima di perguruan tinggi, yang bungsu sekarang kuliah di semester 6, sedangkan si sulung telah bekerja.

Kali ini dia ke Beijing menjenguk anak bungsunya yang sedang kuliah. Karena anak sulung sudah bekerja bermaksud menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersamanya di kota, akan tetapi kedua orang tuanya tidak terbiasa, mereka hanya menetap beberapa waktu lamanya lalu kembali lagi ke desa.

Kali ini karena anak sulungnya tidak ingin sang ayah susah payah naik angkutan, maka dibelikanlah tiket pesawat khusus bagi ayahnya dan bermaksud menemani ayahnya untuk berangkat bersama dengan pesawat karena sang ayah tidak pernah menumpang pesawat sebelumnya, ia sangat khawatir ayahnya tidak mengenali jalan. Akan tetapi ayahnya mati-matian tidak mau naik pesawat karena beranggapan bahwa hal tersebut adalah suatu pemborosan.

Akhirnya setelah bisa dinasihati sang ayah tetap bersikukuh untuk berangkat sendirian, tidak mau anaknya memboroskan uang untuk membeli selembar tiket lagi.

Dia membopong sekarung ketela merah kering yang diberikan pada anak bungsunya. Ketika pemeriksaan sebelum naik ke pesawat, petugas mengatakan bahwa karungnya itu terlalu besar, dan memintanya agar karung itu dimasukkan ke bagasi, namun dia mati-matian menolak, dia bilang takut ketelanya hancur, jika hancur anak bungsunya tidak mau makan lagi. Kami memberitahu dia bahwa barang bawaannya aman jika disimpan disitu, dia berdiri dengan waspada dalam waktu lama, kemudian baru diletakkannya dengan hati-hati.

Selama dalam perjalanan di pesawat kami sangat rajin menuangkan air minum untuknya, dan dia selalu dengan sopan mengucapkan terima kasih. Tapi dia masih bersikukuh tidak mau makan. Walaupun kami tahu perut si paman tua sudah sangat lapar. Sampai menjelang pesawat akan mendarat, dia dengan sangat berhati-hati menanyakan kepada kami apakah kami bisa memberikan sebuah kantongan kepadanya, yang akan digunakan untuk membungkus nasi jatahnya tersebut untuk dia bawa pergi.

Dia bilang selama ini dia tidak pernah mendapatkan makanan yang begitu enak, dan dia akan bawakan makanan itu untuk diberikan kepada anak bungsunya. Kami semua sangat terkejut. Bagi kami nasi yang kami lihat setiap hari ini, ternyata begitu berharganya bagi seorang kakek tua yang datang dari desa ini.

Dia sendiri enggan untuk makan, dia menahan lapar, demi untuk disisakan bagi anaknya. Oleh karena itu, seluruh makanan yang sisa yang tidak terbagikan kami bungkus semuanya untuk diberikan kepadanya agar dibawa. Lagi-lagi dia menolak dengan penuh kepanikan, dia bilang dia hanya mau mengambil jatahnya saja, dia tidak mau mengambil keuntungan dari orang lain. Kami kembali dibuat terharu oleh paman tua ini.

Meskipun bukan suatu hal yang besar, akan tetapi bagi saya ini adalah suatu pelajaran yang sangat mendalam.

Tadinya saya berpikir bahwa kejadian ini sudah selesai sampai disini saja, siapa tahu setelah para tamu lainnya sudah turun dari pesawat, tinggallah paman tua itu seorang diri, kami membantunya membawakan karung goninya sampai ke pintu keluar, saat kami akan membantunya menaikkan karung goni tersebut ke punggungnya, mendadak paman tua itu melakukan suatu tindakan yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup: dia berlutut di atas tanah, lalu dengan air mata berlinang dia bersujud kepada kami dan mengatakan, “Kalian semua sungguh adalah orang-orang yang baik, kami orang desa sehari hanya bisa makan nasi satu kali, selama ini kami belum pernah minum air yang begitu manis, tidak pernah melihat nasi yang begitu bagus, hari ini kalian bukan saja tidak membenci dan menjauhi saya, malah dengan ramah melayani saya, sungguh saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada kalian, saya hanya bisa berharap kalian orang-orang yang baik suatu hari nanti akan mendapatkan balasan yang baik”.

Sambil tetap berlutut, sambil berkata seperti itu, sambil menangis, kami semua buru-buru memapahnya untuk berdiri, sambil tiada hentinya menasihatinya dan menyerahkannya kepada seorang penjaga yang bertugas untuk membantunya, setelah itu kami baru kembali ke pesawat untuk melanjutkan pekerjaan kami.

Terus terang saja, selama 5 tahun saya bekerja, di dalam pesawat saya telah menemui berbagai macam penumpang, ada yang tidak beradab, ada yang main pukul, juga ada yang berbuat onar tanpa alas an, tapi kami tidak pernah menjumpai orang yang berlutut kepada kami, terus terang kami juga tidak melakukan hal yang khusus kepadanya, hanya menuangkan air agak sering untuk beliau, hal ini telah membuat seseorang yang telah berumur 70 tahun lebih berlutut untuk berterima kasih kepada kami, lagi pula melihat dia memanggul satu karung ketela merah kering, dia sendiri rela tidak makan dan menahan lapar demi membawakan anaknya nasi yang dibagikan di pesawat, juga tidak mau menerima nasi jatah milik orang lain yang bukan menjadi miliknya, tidak serakah, saya sungguh merasakan penyesalan yang amat mendalam, lain kali saya harus bisa belajar berterima kasih, belajar membalas budi orang lain.

Adalah paman tua ini yang telah mengajarkan kepada saya, bagaimana saya harus hidup dengan penuh kebajikan dan kejujuran. (The Epoch Times)



Sumber: Maskolis

Kisah Nyata Pengorbanan Seorang Ibu di Jepang
Teras Berita - Ini adalah kisah nyata Pengorbanan Seorang Ibu selama Gempa Jepang. Setelah Gempa telah mereda, ketika para penyelamat mencapai reruntuhan rumah seorang wanita muda, mereka melihat mayat-nya melalui celah-celah. Tapi wanita tersebut berpose begitu aneh, dia berlutut seperti seseorang yang menyembah; tubuhnya condong ke depan, dan dua tangan yang mendukung oleh suatu benda. Rumah roboh telah menimpa punggung dan kepalanya.

Dengan begitu banyak kesulitan, pemimpin tim penyelamat meletakkan tangannya melalui celah sempit di dinding untuk mencapai tubuh wanita itu. Dia berharap bahwa wanita ini bisa jadi masih hidup. Namun, tubuh dingin dan kaku menandakan bahwa wanita tsb pasti telah meninggal.

Pemimpin tim dan seluruh anggota tim lalu meninggalkan rumah ini dan akan mencari gedung yang runtuh berikutnya. Namun karena alasan tertentu, pemimpin tim terdorong untuk kembali ke rumah hancur dari wanita tadi. Pemimpin tim ini lalu berlutut lagi dan menggunakan kepalanya melalui celah-celah sempit untuk mencari sedikit ruang di bawah mayat wanita tersebut. Tiba-tiba, ia berteriak dengan gembira, "Anak kecil! Ada anak kecil!"

Lalu seluruh tim bekerja bersama-sama, dengan hati-hati mereka menyingkirkan tumpukan benda hancur di sekitar wanita yang sudah meninggal. Ada seorang anak kecil berusia 3 bulan terbungkus selimut bunga-bunga di bawah mayat ibunya. Jelas, wanita itu telah membuat pengorbanan untuk menyelamatkan anaknya. Ketika rumahnya jatuh, ia menggunakan tubuhnya untuk membuat penutup untuk melindungi anaknya. Anak itu masih tidur pulas ketika pemimpin tim mengangkatnya.

Para dokter datang cepat untuk mengevakuasi anak kecil itu. Setelah ia membuka selimut, ia melihat sebuah ponsel di dalam selimut. Ada pesan teks pada layar. Dikatakan, "Jika kamu dapat bertahan hidup, kamu harus ingat bahwa aku mencintaimu." Ponsel ini berkeliling dari satu tangan ke tangan yang lain pada tim itu. Setiap tubuh yang membaca pesan tersebut menangis. "Jika kamu dapat bertahan hidup, kamu harus ingat bahwa aku mencintaimu." Itu artinya cinta ibu untuk anaknya!

Sahabat itulah cinta ibu ibu kita. Berbaktilah kepadanya selagi beliau masih hidup. Dan jikalau sudah meninggal, doakanlah slalu beliau. Beliau sangat membutuhkan itu...

Terimkasih telah membaca, share ke sahabat sahabat anda.


Sumber |  mustlieliek



Chen Shu-Chu,  Si Tukang Sayur Dermawan
Teras Berita - Chen Shu-Chu, Wanita istimewa Si tukang sayur dermawan ini memilih hidup tanpa kemewahan demi membantu mereka yang kurang beruntung.

Setelah pagi yang hiruk-pikuk, suasana Central Market di Taitung County terasa senyap ketika kios-kios tutup untuk hari itu dan para pemilik pulang ke rumah yang nyaman. Namun satu lampu tetap menyala di sebuah kios sayuran.

Dengan kepala tertunduk, Chen Shu-Chu memilah-milah sayuran sambil menunggu pelanggan siang hari yang sesekali datang. Kerja keras selama beberapa puluh tahun membuat jari-jari tangan kanannya melengkung dan sendi-sendinya bengkak; bentuk kakinya juga sedikit berubah.

Chen menjalani hidup dengan rutinitas harian – bangun pukul tiga pagi, berangkat ke pedagang sayur kulakan, menyiapkan kiosnya dan berjualan sayur di sana sampai pukul tujuh atau delapan malam. Sebagai yang pertama tiba dan yang terakhir pergi, pemilik kios lain dengan penuh sayang menjuluki dia ‘pimpinan pasar’ atau ‘manajer pasar.’

Di dalam pasar yang gelap dan lembap, Chen, hampir 60 tahun, mengurus kios yang diwariskan sang ayah. Bagi Chen, “Yuan-Jin Vegetables” adalah segalanya. Dengan sayuran yang dia jual 'seikat NT$30 (sekitar Rp. 9.000), tiga ikat NT$50 (Rp. 15.000),' keuntungan Chen tidak besar. Namun hidup hemat memungkinkan dia menyumbang uang sebesar NT$10.000.000 (nyaris tiga miliar rupiah) untuk berbagai program amal, termasuk menyokong sekolah, panti asuhan dan anak-anak miskin.

Kemurahan hati yang tidak mementingkan diri sendiri dari wanita berpenghasilan kecil itu telah menempatkan dia di bawah sorotan internasional.

Pada Maret 2010, majalah Forbes menyebut dia sebagai salah satu dari 48 dermawan luar biasa dari wilayah Asia Pasifik. Sebulan kemudian, majalah Time memilih 100 orang paling berpengaruh di 2010, dan Chen masuk dalam kategori “Pahlawan Kedermawanan.” Ang Lee, sutradara pemenang Oscar yang juga sesama warga Taiwan, membuat tulisan perkenalan secara pribadi. “Uang hanya berharga jika diberikan kepada mereka yang membutuhkan,” dia mengutip Chen. Sang sutradara juga menulis, “Luar biasa, tetapi dari semua yang dia berikan, talenta terbesarnya adalah memberi teladan.”

Meski menerima penghargaan dari Time di New York, memperoleh pengakuan global dan bertemu Presiden Ma Ying-jeou, yang sesungguhnya dipedulikan Chen adalah kios sayurannya. Jika bukan karena Presiden Ma dan menteri luar negeri yang secara pribadi membujuk dia untuk pergi, dia tidak akan pernah setuju untuk mengunjungi New York karena merasa, “Ini bukan kompetisi dan saya tidak mau memenangkan apa-apa.” Di tengah kesibukan membuat paspor dan mempersiapkan keberangkatan, kekhawatiran utama Chen adalah para langganannya tidak akan bisa mendapat sayuran mereka.

Chen menjadi selebriti di Taitung County. Pemerintah daerah menghiasi kiosnya dengan poster dan spanduk ucapan selamat yang menyanjung dia sebagai “Kebanggaan Taitung” dan “Teladan Kedermawanan.” Bahkan ada ‘penggemar’ yang muncul di kiosnya dengan membawa keranjang sayur dan kamera, berharap untuk memotret Chen.

Meski mendapat banyak perhatian, Chen tetap rendah hati. “Saya tidak melakukan apa-apa yang luar biasa, dan semua orang yang mau, bisa melakukannya. Ada banyak orang yang suka beramal – kita tidak tahu saja tentang mereka,” katanya.

Chen, yang tidak menikah, menambahkan, “Saya tidak menempatkan kepentingan besar pada uang. Ketika saya menyumbang untuk membantu orang lain, saya merasa damai dan bahagia, dan saya bisa tidur nyenyak di malam hari.” Dia juga bersimpati kepada kaum miskin karena dia sendiri hidup sulit di masa muda.

Lahir pada 1950, Chen kehilangan ibunya setelah menyelesaikan sekolah dasar. Ibunya dilarikan ke rumah sakit karena kesulitan melahirkan dan keluarganya harus membayar asuransi sebesar NT$5.000 (1,5 juta rupiah) sebelum perhatian medis dapat diberikan. Chen menyaksikan ayahnya meminta uang kepada tetangga-tetangga mereka, tetapi ibunya terlambat diselamatkan. Sebagai putri sulung di keluarga, Chen harus tumbuh dewasa dalam semalam. Dia meninggalkan pendidikannya dan mengabdikan hidupnya untuk membantu berjualan sayuran.

Ketika berusia 18, adik lelakinya jatuh sakit yang terus berlarut-larut sampai lebih dari setahun, perlahan menguras tabungan keluarga. Para dokter menyarankan keluarganya mengirim sang adik ke Taiwan National University Hospital, tetapi bagaimana mereka bisa membayar biayanya? Huang Shun-zhong, guru di Ren-ai Primary School, membuka donasi untuk keluarga Chen. Sayang, adiknya tidak dapat diselamatkan.

Setelah mengalami kebaikan hati berupa donasi bagi keluarganya, Chen memutuskan untuk membantu kaum miskin begitu dia sanggup. Ketika ayahnya meninggal dunia 17 tahun lalu, Chen, penganut Buddha yang taat, mendermakan uang sebesar NT$1.000.000 (nyaris Rp. 300 juta rupiah) ke Fo Guang Shan Monastery.

Chen Shu-Chu,  Si Tukang Sayur Dermawan
Pada 2000, dia menyumbangkan jumlah yang sama besarnya kepada almamaternya, Ren-ai Primary School, untuk mendirikan “Emergency Relief Fund” yang membantu anak-anak miskin memperoleh bantuan finansial.

Pendamping dari pembangunan dan pemeliharaan badan amal tersebut adalah Li Guo-rong, yang mengajar keponakan lelaki Chen. Pada 2001, Li punya rencana untuk membangun perpustakaan di sekolah tersebut dan memperkirakan biayanya antara NT$4.000.000 sampai NT$5.000.000 (sekitar satu miliar rupiah). Ketika ia mendekati Chen, dengan harapan wanita itu akan menyumbang NT$50.000 (Rp. 15 juta rupiah), Li terkejut saat Chen berkata, dia akan mendanai seluruh proyek.

Sementara pihak sekolah merasa skeptis, Chen merasa yakin. Pada Mei 2005, perpustakaan dua lantai tersebut selesai dibangun dan dinamai “Perpustakaan Chen Shu-Chu” untuk menghormati alumnus sekaligus “Pahlawan dari Pasar Sayur.” Dia telah mendonasikan NT$4.500.000 (1,3 miliar rupiah).

Kemampuan Chen untuk mendermakan uang dalam jumlah besar membuat banyak orang bertanya-tanya, “Kok, bisa seorang tukang sayuran menghasilkan uang sebanyak itu?”

“Pakai yang Anda butuhkan saja, dan Anda akan bisa menyisihkan begitu banyak uang!” ujar Chen. Sejak 1996, dia telah mendonasikan NT$36.000 (Rp10.750.000) untuk membantu tiga anak di organisasi Kidsalive International. Untuk mewujudkan itu, Chen menjelaskan bahwa dia memindahkan seluruh uang koinnya ke tiga kotak kardus kecil di rumah setiap malam. “Ini tindakan sederhana yang bisa dilakukan semua orang, kan?” tanya Chen.

Chen menjalani hidup yang amat sederhana, tanpa sedikit pun kemewahan. Dia tidak berminat kepada materi maupun bentuk kenikmatan apa pun. Bekerja, katanya, adalah kenikmatannya. “Saya cinta pekerjaan saya. Jika tidak, mana mungkin saya sanggup bekerja 16 jam sehari?” tuturnya.

Yang dibutuhkan Chen hanyalah makanan dan tempat untuk tidur. Semua hal lain di luar itu adalah kemewahan. Dia tidak membeli baju-baju mahal karena, “Saya tidak banyak bersosialisasi, maka tidak ada kebutuhan akan pakaian indah. Baju dari kios pinggir jalan sudah cukup baik untuk saya, dan bahkan di situ, saya suka menawar.”

Makanannya sehari-hari hanya butuh sedikit uang, yaitu untuk semangkuk nasi vegetarian dan semangkuk mi seharga NT$55 (Rp16.000). Bekukan apa pun yang tidak habis, keluarkan lagi uang sebesar NT$20 (Rp5.900) untuk sekaleng gluten dan tambahkan ke nasi dengan sedikit air panas. “Jadilah bubur yang rasanya amat enak,” kata Chen.

Dia juga tidur di atas lantai, kebiasaan dari masa muda ketika mulai bekerja di kios sayur. Kenyamanan ranjang yang hangat membuatnya sulit bangun pagi untuk berangkat ke pedagang kulakan, terutama selama bulan-bulan musim dingin. Karena itu, Chen memutuskan untuk tidur di lantai yang dingin, tempat dia tak akan berisiko terlambat.

Jadi, apakah bisnisnya meningkat setelah memenangkan penghargaan? “Berjalan seperti biasa,” ujar Chen. “Saya masih perlu menjual sayur-mayur saya, tidak banyak yang berubah.” Para pembuat iklan mendekati dia untuk membuat iklan, manajer-manajer keuangan menawarkan untuk mengelola keuangannya dan sejumlah pihak berniat baik menawarkan sumbangan uang untuk dia. Chen menolak semua tawaran itu dengan sopan. “Mengembalikan pinjaman uang itu mudah, tetapi mengembalikan kebaikan itu sulit,” kata Chen.

“Saya harus amat berhati-hati dalam menangani persoalan uang,” tambah Chen. Bahkan ketika pelanggan memberi tip, dia tidak mau menerima. “Membeli dari kios saya sudah merupakan bentuk dukungan,” dia menjelaskan.

Satu-satunya iklan yang pernah Chen terima adalah untuk Bureau of National Health Insurance dalam kenangan atas bundanya tercinta. Chen meminta seluruh pengambilan gambar dilakukan di dekat kiosnya sehingga tidak mengganggu bisnisnya. Pembayaran yang mau dia terima dari biro tersebut hanya sehelai kaos warna hitam.

Sejak pulang dari New York, Chen bekerja semakin keras. Dia punya tujuan baru: mengumpulkan NT$10.000.000 (Rp2,9 miliar) untuk mendirikan “Chen Shu-Chu Bursary” atau “Beasiswa Chen Shu-Chu” yang ditujukan untuk membantu anak-anak miskin membayar biaya sekolah dan tagihan medis, hal-hal yang tidak sanggup dia dapatkan ketika masih kecil.

“Yang saya butuhkan hanyalah menjual sayur sedikit lebih banyak dan menyisihkan uang sedikit lebih banyak, selain membayar sejumlah polis asuransi yang mendekati akhir periode. Banyak orang juga bersedia menyumbang. Saya yakin, tak akan ada masalah,” kata Chen dengan yakin.

Li, yang menganggap Chen sebagai kakak, berkata bahwa mendirikan badan beasiswa sesungguhnya merupakan cara yang bagus untuk membiarkan Chen pensiun dari menjual sayuran dan mulai menggunakan reputasinya untuk memengaruhi masyarakat. Harapannya, akan muncul lebih banyak “Chen Shu-Chu” yang dermawan.

“Filosofi hidup saya sederhana: Jika melakukan sesuatu membuat Anda cemas, maka itu pasti hal yang salah. Jika itu membuat Anda bahagia, maka Anda pasti telah melakukan hal yang benar. Apa yang dikatakan orang lain tidak penting,” kata Chen. Dia puas dengan apa yang dia miliki, dan merasa selama dia menjalani hidup yang dia harapkan, melakukan hal-hal yang dia inginkan, itu sudah cukup baik.

(Gao Ruo Wu; Foto Marc Gerritsen)

Sumber


Yu Youzhen Miliarder Wanita, Penyapu Jalanan
Teras Berita - Apa yang akan Anda lakukan bila Anda telah menjadi orang kaya yang memiliki beberapa apartemen dan harta yang melimpah? Kebanyakan orang mungkin memilih berlibur, menikmati hidup dengan bersantai atau membeli barang-barang yang diinginkan. Namun wanita yang satu ini tidak.

Yu Youzhen, seorang wanita berusia 53 tahun, sebenarnya telah memiliki kehidupan makmur seperti yang diinginkan banyak orang. Namun di usianya yang sudah senja itu, ia tidak lantas menjadi orang yang menikmati masa tua dengan tinggal di rumah atau melakukan aktivitas ringan. Wanita ini memilih untuk tetap bekerja dengan menjadi penyapu jalan sepanjang 3 km setiap pagi.

Untuk pekerjaannya ini, ia harus bangun jam 3 pagi untuk menyapu jalanan. Pekerjaan ini ia lakoni sejak tahun 1998 lalu. Mungkin Anda bertanya-tanya, untuk apa seorang wanita kaya yang sudah cukup berumur memilih bekerja sebagai tukang sapu? Kenapa tidak bekerja di kantor bila ia memang wanita kaya?

Yu Youzhen rupanya sudah terbiasa hidup susah dan bekerja keras sejak tahun 1980an bersama suaminya. Seluruh kekayaan yang ia miliki merupakan hasil keuletannya bersama suami dalam kurun waktu beberapa tahun. Dengan memilih pekerjaan ini, Yu Youzhen berharap bisa menjadi contoh agar anak-anaknya tidak menjadi orang kaya yang hanya bisa mengonsumsi harta tanpa tahu makna berusaha mencapai sesuatu.

Ia menjadi ibu yang tegas mendidik anak-anaknya hingga jerih payahnya ini terbayar. Ia pernah menyampaikan pada anaknya, bila mereka tak mau bekerja, Yu akan menyerahkan apartemennya pada negara. Agaknya peringatan ini berhasil dan membuat anak-anak Yu kini mampu menghasilkan uang sendiri.

Bercermin dari kisah Yu, banyak sekali dari kita yang masih terlena pada kenikmatan dunia saat ini. Tidak pernah puas atas apa yang kita miliki dan menghabiskan uang dengan sia-sia. Mungkin sesekali kita patut merenung, kita tak hanya membutuhkan materi, namun juga makna dalam hidup. Meraih sesuatu dengan berusaha keras akan membuat kita lebih puas dari sekedar memperoleh hasilnya.

Kisah lain yang mirip dengan Yu Youzhen adalah kisah Chen Shu Chu, Tukang Sayur Dermawan. Kedua wanita ini tidak lantas menikmati masa tuanya dengan bersantai-santai, melainkan masih banyak hal yang ingin mereka lakukan bagi orang lain meski itu sederhana.


Tidak putus berusaha mencapai sesuatu juga dapat menjaga kualitas makna dari hidup kita. Bila seorang kaya macam Yu Youzhen saja masih bisa memaknai hidupnya dengan mengajari anak-anaknya bahwa hidup bukan sekedar duduk di rumah menghabiskan harta, kita pun bisa membuat hidup kita lebih bermakna dengan hidup lebih sederhana namun punya pencapaian yang luar biasa.


Sumber | Vemale.com

Claudio Viera de Oliveira
Monte Santo — Claudio Vieira de Oliveira terlahir dengan leher terlipat ke belakang. Alhasil, pria ini harus menjalani hidupnya dengan posisi kepala yang terbalik.

Namun, kondisi fisik yang bahkan membuat dokter yakin bahwa Claudio tak akan berumur panjang tidak membuat pria itu menyerah. Di tengah keterbatasannya, kini Claudio meraup sukses dalam kehidupannya.

Claudio (37) tak hanya terlahir dengan leher melipat ke arah punggung, kakinya juga tak sempurna. Demikian pula dengan kedua tangannya yang nyaris tak berfungsi.

Saat baru lahir, para dokter menyarankan ibunya agar berhenti memberinya makan karena para dokter yakin bahwa peluang Claudio untuk bertahan hidup sangat tipis.

Namun, kenyataannya, Claudio yang berasal dari Monte Santo, Brasil, itu tak hanya berumur panjang, tetapi bisa mengatasi segala kekurangannya. Bahkan dia menyelesaikan pendidikannya sebagai akuntan dan sukses menjadi seorang pembicara.

"Sejak kecil, saya selalu menyibukkan diri dengan berbagai hal. Saya tak suka bergantung pada orang lain," kata Claudio.

"Saya belajar menyalakan televisi, menjawab telepon, menyalakan radio, serta menggunakan internet dan komputer. Semua saya lakukan sendiri," tambah dia.

Bagaimana Claudio mengerjakan semua itu? Dia mengetik dengan menggunakan telepon yang digigit, mengoperasikan telepon dan mouse komputer menggunakan bibirnya, serta menggunakan sepatu khusus yang membuatnya bisa berjalan-jalan keliling kota.

Soal masa kecil Claudio, sang ibu Maria Jose memiliki banyak kenangan, termasuk prediksi dokter yang yakin bahwa putranya itu tak berumur panjang.

"Semua orang mengatakan bayi itu (Claudio) akan meninggal karena saat lahir dia kesulitan bernapas. Beberapa orang bahkan mengatakan Claudio tak usah diberi makan karena dia sudah sekarat," ujar Maria Jose.

Namun, Maria Jose tak mendengarkan ucapan orang-orang itu. Keteguhan Maria terbayar ketika kini Claudio menjalani hidup penuh kesuksesan.

"Kini yang saya rasakan adalah kebahagiaan. Claudio sama dengan orang lain, itulah cara saya membesarkannya di rumah ini," kata Maria.

"Kami tak pernah berusaha mengubah tubuhnya dan selalu menginginkan dia melakukan banyak hal normal seperti orang lain," lanjut dia.

Hidup sukses



Claudio Viera de Oliveira sebagai pembicara
Mirror Claudio Vieira de Oliveira saat menjadi pembicara di hadapan para mahasiswa Universitas Feira de Santana, Bahia, Brasil.
Dengan cara mendidik seperti itu, kata Maria, Claudio tumbuh dengan rasa percaya diri dan tak pernah malu dengan dirinya sendiri. "Saat berusia delapan tahun, Claudio yang awalnya selalu digendong ke mana-mana mulai berjalan dengan lututnya," kenang Maria.

Akibatnya, keluarga harus mengganti lantai rumah sehingga Claudio bisa berjalan di dalam rumah tanpa harus mencederai dirinya sendiri.

Semua tempat di rumah itu dibuat untuk menyesuaikan dengan kondisi fisik Claudio. Tempat tidurnya, semua stop kontak, dan lampu dibuat lebih rendah sehingga dia bisa melakukan semuanya tanpa bantuan orang lain.

Dengan bentuk tubuhnya yang tak lazim ini, bahkan Claudio tak bisa menggunakan kursi roda. Namun, dia memohon kepada ibunya agar diizinkan bersekolah dan belajar dengan anak-anak lainnya.

Belakangan, para dokter mendiagnosis kondisi Claudio sebagai congenital arthrogryposis, suatu kondisi tubuh yang sangat langka. "Sepanjang hidup, saya mampu beradaptasi dengan kondisi tubuh saya. Saat ini saya tak memandang diri sebagai orang biasa. Saya manusia normal," ujar Claudio.

"Saya tak melihat dunia secara terbalik. Inilah yang selalu saya sampaikan saat saya berbicara di hadapan publik," tambah dia.

"Kini semakin mudah menghadapi publik. Saya sudah tak memiliki ketakutan dan saya bisa katakan, saya profesional, pembicara publik internasional, dan saya mendapat undangan untuk berbicara dari seluruh dunia," tambah Claudio bangga.



Sumber | Kompas.com

Anak Balita Kumpulkan Sampah Plastik, untuk Operasi Jantung
Teras Berita - Merasa hidup Anda susah? Lihatlah balita kecil ini, dia mengumpulkan sampah-sampah plastik demi membiayai operasi jantungnya. Kami yakin, hidup Anda jauh lebih beruntung dari nasib balita cantik ini.

Banyak orang mengeluh tentang cinta, pekerjaan, atau mengeluh belum punya iPhone terbaru. Apa yang membuat banyak orang begitu mengejar kebahagiaan dari materi duniawi?
Lihatlah gadis kecil ini, dia sudah merasakan kerasnya hidup sejak kecil. Dilansir oleh situs AsiaOne.com, balita ini mengumpulkan sampah plastik demi biaya operasi jantung.

Anak Balita Kumpulkan Sampah Plastik, untuk Operasi Jantung
Xia0xiao bersama orang tuanya / Foto: AsiaOne.com


Nama balita dua tahun ini adalah Xiaoxiao, berasal dari China. Selama tiga bulan terakhir, dia mengumpulkan sampah berupa botol plastik. Sampah-sampah itu dia kumpulkan dan dijual lagi, semua dilakukan demi biaya operasi kelainan jantung yang dideritanya sejak lahir.

Tim dokter yang menangani Xiaoxiao mengatakan bahwa operasi jantung akan berhasil jika dilakukan sebelum usia Xiaoxiao tiga tahun. Biaya yang dibutuhkan sangat banyak, sekitar hampir Rp 200 juta. Bagi keluarga Xiaoxiao yang miskin di pinggir kota Beijing, angka itu melampaui pendapatan mereka.
Xiaoxiao tidak berjuang sendiri, ibunya membuka usaha menjahit sekaligus mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Selama ibunya bekerja, Xiaoxiao dititipkan pada kakek dan neneknya.

Anak Balita Kumpulkan Sampah Plastik, untuk Operasi Jantung
Xia0xiao bersama orang tuanya / Foto: AsiaOne.com


"Xiaoxiao sering menangis dan memanggil-manggil ibunya saat sedang tidur (bermimpi)," ujar sang nenek.
Berapa uang yang berhasil dikumpulkan Xiaoxiao dalam 3 bulan mengumpulkan sampah botol plastik? Baru sekitar Rp 99 ribu, masih jauh dari angka biaya operasi yang diminta tim dokter. Semoga saja ada tangan-tangan mulia yang mau membantu Xiaoxiao membiayai operasinya.


Jika sudah begini, masihkah Anda mengeluh tentang hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dikeluhkan? Belajarlah dari Xiaoxiao, dan bersyukurlah pada apapun yang Anda miliki saat ini.

Sumber | Vemale.com

Huang Lihua
Huang Lihua saat menggendong neneknya ke tempat kerja
Teras Berita - "Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah", itulah peribahasa yang selalu kita dengar, kala membandingkan kasih sayang antara anak dan ibu. Tapi peribahasa itu tidak berlaku bagi gadis cantik asal negeri Tirai Bambu ini. Adalah Huang Lihua, yang telah ditinggalkan orangtuanya sejak kecil untuk mencari pekerjaan, dan ia tinggal bersama neneknya di pedesaan.  Setiap hari, ia diurus oleh neneknya hingga besar, dan ia tidak pernah ditinggalkan oleh neneknya tersebut.

Baik pada saat neneknya ke pasar, ke ladang pertanian, atau bercakap-cakap dengan tetangga, Lihua selalu dibawa neneknya kemana pun ia pergi. Karena hanya dialah yang menemani sang nenek dalam hidupnya.
Kini, Lihua sudah berumur 24 tahun, dan ia pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Namun di ia selalu teringat akan neneknya yang tinggal sebatang kara, tidak ada yang mengurus di masa tuanya.

Huang LihuaLihua pun berinisiatif untuk mengajak neneknya pergi setiap hari menemaninya bekerja di salah satu restoran. Dan itu adalah pengalaman terindah bagi Luhia.

"Nenek adalah salah satu bagian terindah dalam hidup saya. Saya saat itu masih muda saat diasuh oleh nenek saya, dan ia selalu membawaku kemana-mana. Dia tidak pernah meninggalkanku di rumah, pergi ke pasar, atau mengunjungi teman-temannya, ada banyak cinta di sana,"  ucap Lihua yang kami kutip dari Mail Online.

Sungguh perhatian yang mulia dari seorang cucu kepada neneknya, dan ia saat ini selalu menemani dan membawa neneknya kemana pun ia pergi, bahkan ke tempat kerja sekali pun. Dan ia juga tidak lelah untuk menggendong neneknya yang sudah rapuh saat berjalan. Sungguh gadis yang luar biasa. (Saung99)

Tukang Becak
Bulir air nampak berpendar diatas rel yang menjulur lurus kearah stasiun tugu yogyakarta, embun membulir di papan-papan kayu sepanjang palang pintu ketika saya tak sengaja mengusapnya saat menyeberangi perlintasan kereta. Subuh mulai menghangat karena langkah kaki saya membakar kalori tubuh yang belebih usai makan sahur.

Diujung jalan sosrowijayan, becak berwarna hijau merapat pada tembok sebuah toko tua. Angin pagi menghembus menerpa lonceng yang tersusun dari beberapa plat besi tipis yang tergantung diantara pedal dan as roda di kursi depan. Bunyinya berdenting ditengah sunyi jalan Malioboro. Udara yogya terhirup dengan segar bercampur antara wewangian serupa dupa entah datang dari mana.

“Pak, saya mau naik becaknya boleh?” saya menjawil pelan berharap sosok yang tengah meringkuk dalam bak kursi depan tidak terkejut dibuatnya. Lelaki tua berkulit tak terawat mengusap kedua mata dengan punggung tangannya. Ia menatap saya beberapa lama seolah menepis mimpi yang baru di bangun dalam tidur beratap langit Yogyakarta. “Maaf kalau mengganggu,” senyum saya padanya.

Ia menggeleng dan bertanya kemana arah tujuan. Saya mengeluarkan uang sebanyak tiga puluh ribu rupiah dan menawarkan padanya untuk membawa saya kemana saja mengelilingi kota Yogya dan kembali ke tempat kami bertemu, diujung jalan sosrowijayan di tepi Malioboro. “Saya cuma mau jalan-jalan subuh mengelilingi yogya, dan bapak yang tentukan kemana saja harus berjalan sesuai dengan besar uang yang saya tawarkan, lalu kita akan kembali ke tempat ini lagi.” dahinya berkerut usai saya mengucapkan kalimat tersebut. Dengan logat jawanya yang kental ia mengungkapkan tak tahu harus kemana, karena takut membuat saya kecewa.

“Bilang saja mau kemana nanti saya antarkan, saya takut kalau dibawa keliling semau saya nanti tidak sesuai dengan apa yang Mas bayarkan!” ia menggugat dengan halus dalam sisa kantuk yang belum sepenuhnya hilang.

“Nggak pak, kemanapun bapak ajak saya dengan uang ini, saya nggak akan marah. Saya tidak paham kota Yogya dan tidak punya tujuan kemana-mana selain mau melihat kota dipagi yang sepi seperti ini,” jawab saya. Bapak penarik becak masih duduk dalam kursi hijaunya, ia menjulurkan tubuhnya kedepan dan lama berpikir untuk memutuskan kemana kami akan berjalan. “Sudah siap pak?” tanya saya mengejutkannya. Ia turun dari kursi depan dan mempersilahkan saya duduk dikursi setelah ia mengusap kursi yang semula menjadi tempat tidurnya dengan handuk yang melingkar dileher. Becak bergerak menuju kearah selatan menyusuri jalan Malioboro.

Udara sejuk menerpa dari depan, desirnya terasa syahdu diantara deretan bangunan tua yang satu persatu mulai mematikan lampu di berandanya masing-masing. Kumpulan perempuan tua berjalan beriringan menuju pasar Bringharjo dengan setumpuk gendongan dipunggung seolah berharap ada orang yang nantinya akan memerlukan jualan mereka itu. Sambil sesekali terpejam saya menikmati laju becak dengan mendengar suara pedal yang terkayuh dan gesekan halus karet bundar ban becak dengan lapisan aspal yang sesekali menghantam lubang-lubang kecil di jalan. Keindahan itu terganjal dengan suara nafas tersengal dari arah belakang, suara bapak penarik becak yang menatap kedepan memperhatikan arah jalan.

“Capek pak?” tanya saya. Ia menjawab dengan keras: “Mboteen..sudah biasa!”. Sementara becak melintasi benteng Vredebeurg dan berbelok ke kiri meluncur dengan kecepatan sedang. Sengal nafas mulai mengganggu ketika jalan menanjak di jalan yang sejajar dengan Malioboro, dibelakang benteng. Saya meminta becak berhenti dan melompat dari kursi becak.

“Benar nggak capek?” tanya saya lagi. Penarik becak menggeleng dalam peluhnya yang menetes.
“Ndak Mas..sudah biasa, mungkin karena puasa.” Jawabnya.
“Bapak Puasa?”
“Iya” jawabnya
“Tadi sempat sahur?” ia menggeleng mendengar pertanyaan saya.
“Kenapa nggak bilang!” tegur saya.
“Kenapa mesti bilang?, Saya puasa untuk saya sendiri dan ndak untuk orang lain tahu!” ujarnya datar.
“Kalau tahu begitu kan saya nggak akan minta bapak antar saya berkeliling,”
“Terus, saya dapat rejeki dari mana kalau Mas ndak mau pakai becak saya karena puasa!”
“Ya..paling nggak saya cukup kasih bapak saja, nggak usah pakai berkeliling,” tukas saya.
“Jadi sama seperti pengemis, dikasihani lalu dikasih uang, ndak perlu berbuat apa-apa,” jawab penarik becak dalam logat jawanya yang kental. Saya tersentak mendengar jawabannya.
“Lantas untuk apa bapak puasa sementara bapak merasakan lapar setiap hari, terutama kalau belum dapat penumpang?” tanya saya. Ia terdiam, berpikir sejenak.
“Yaaa..mungkin untuk sebuah janji, janji untuk siapa saja yang menjalani, Mas sendiri puasa untuk apa, tapi maaf..Mas puasa kan?” tanya penarik becak sedikit ragu.
“Saya juga puasa, tapi mungkin saya sebatas menjalankan kewajiban, kebiasaan sedari kecil, atau mungkin karena semata saya orang Islam jadi harus puasa!” jawab saya gamang.
“Buat saya puasa itu penuh janji, bukan disini tapi nanti, setelah saya mati!”
“Janji apa yang bapak nanti hingga mati nanti?”
“Saya hanya mendengar ini kalau kebetulan shalat di masjid kauman, dari para penceramah yang mengatakan janji yang akan diperoleh untuk orang susah seperti saya adalah balasan untuk ndak kembali susah di akhirat nanti. Mas bayangkan orang-orang yang terbiasa hidup senang ndak akan sebahagia saya untuk mendapatkan uang tiga puluh ribu, begitu juga mereka ndak akan sebahagia saya kalau diakhirat nanti saya diberi tempat yang menyenangkan, karena mereka biasa hidup senang!” .

Saya terdiam. Sengal nafas penarik becak seperti sebuah ayat Tuhan yang menghujam memberi pelajaran makna puasa yang saat itu tengah saya jalankan. Saya teringat ketika ibu membangunkan kami bersaudara untuk makan sahur di pagi buta dan mengingatkan kami agar berpuasa untuk merasakan apa yang dirasakan orang-orang yang tak punya apa-apa untuk dimakan. Pagi itu saya bertemu dengan orang yang diceritakan ibu dihadapan saya dan ia orang yang tak mengeluh sedikitpun pada kehidupannya meskipun ia tahu lebih buruk dari kehidupan yang saya jalani.

“Bapak percaya dengan Janji itu?”
“Saya percaya sepenuhnya, seperti saya percaya Mas akan memberi saya uang tiga puluh ribu rupiah setelah saya mengantar seperti yang Mas mau!” tegasnya.
“Bapak ini tukang becak apa malaikat?’ tanya saya.
“Mana ada malaikat yang mau dibayar tiga puluh ribu Mas?” ia tersenyum pada saya.
Setelahnya disisa perjalanan saya bersisian mendorong becak di jalan yang menanjak, saya di sisi kiri ia di sisi kanan, meskipun ia berkeras meminta saya naik dalam jok kursi becaknya. Kami berbicara tentang hakekat kehidupan yang sederhana sepanjang perjalanan hingga tiba di mulut jalan sosrowijayan lalu saya melebihkan uang yang saya janjikan.

“Saya mewujudkan janji melebihi apa yang saya janjikan, mungkin ini berartijanji diduniapun bisa dilebihkan karena sebuah kewajiban sudah di tunaikan apalagi Janji Tuhan yang seperti yang bapak bilang,” bapak penarik becak ragu menerima uang itu sebelum saya menarik tangannya untuk menerimanya.

Tuhan memberikan kesempatan saya bertemu dengan orang-orang yang seperti Ibu saya ceritakan ketika meminta saya berpuasa ketika kecil dulu. Setiap berpuasa Ibu senantiasa memenuhi janjinya memberi saya es buah Timun suri yang selalu saya nantikan dikala berbuka, dan bertemu dengan bapak penarik becak itu membuat saya lebih meyakini bahwa Tuhan akan memberikan sesuatu pada saya ketika mati nanti, sebuah janji yang Tuhan simpan hanya bagi orang-orang yang beriman yang mau merasakan kesusahan orang lain dalam cara yang diperintahkan, yaitu Puasa. Janji itu hanya bagi orang-orang yang beriman, bukan sekedar bagi orang-orang yang memeluk agama yang diridhoiNya saja. Seperti yang Allah SWT ungkapkan, Sesungguhnya Puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan memberi ganjaran atasnya.
Selamat berpuasa, untuk sahabat yang menjalankannya!
(Kompasiana)

Wang Xiaobing, Pekerja Keras yang tidak mempunyai Kaki
Banyak orang memandang sebelah mata kepada saudara-saudara kita yang memiliki kekurangan fisik. Padahal, sebagian dari mereka bekerja keras, tanpa mengeluhkan kekurangan mereka. Mereka menjalani hidup tidak harus dengan meminta-minta, seperti kisah Wang Xiaobing yang bisa menjadi inspirasi bagi kita.

Wang Xiaobing 33 tahun, tinggal di desa Xiyulin, provinsi Hebei Zhangjiakou, China. Walau memiliki kekurangan fisik, Wang tetap bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Keterbatasan fisik tidak membuatnya bekerja setengah-setengah di sebuah peternakan domba.

Saat lahir, Wang memiliki tubuh yang lengkap. Namun saat berusia 7 tahun, ia mengalami kecelakaan yang mengharuskan kedua kakinya diamputasi. Meski pendidikannya hanya sampai Menengah Wang mempunyai kemauan keras untuk mandiri dan bekerja dari hasil keringatnya sendiri.

Wang Xiaobing, Pekerja Keras yang tidak mempunyai Kaki
Foto: copyright chinasmack.com
Tahun 2008, Wang Xiaobing berkenalan dengan wanita bernama Li Chengmei, dan memutuskan untuk menikahinya. Saat ini, pasangan Wang dan istrinya telah memiliki anak laki-laki berusia 5 tahun. Karena sang istri bekerja di Beijing, Wang sering menjaga anaknya, mulai dari memakaikan baju hingga memasak.

Kekurangan fisiknya tidaklah menjadikan Wang Xiaobing merasa terbebani. Sudah banyak pekerjaan yang dia lakukan, mulai dari memperbaiki sepatu, membuat dan memperbaiki kunci, serta pekerjaan lainnya. Warga desa bahkan menjuluki Wang sebagai "pria tanpa kaki yang sangat tangguh". Di tahun 2011, pegawai desa meminta Wang untuk bekerja di peternakan domba.

Semua dilakukan Wang tanpa mengeluh dan menjadikan bukti bahwa kekurangan fisik bukanlah hambatan untuk bekerja dan bekarya. Setiap orang bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Wang mempunyai prinsip lebih baik menafkahi keluarganya dengan hasil keringat sendiri, ketimbang meminta belas kasihan orang lain.

Semoga kisah inspirasi ini membuat kita makin bersyukur dan tidak lagi banyak mengeluh. Tangguh tidaknya seseorang tidak hanya dilihat dari fisiknya, tetapi juga dari kemauan keras untuk bermanfaat bagi orang yang mereka cintai. ( Vemale )

Raeni, Wisudawan Terbaik Anak Tukang Becak
Raeni menuju Auditorium Unnes diantar ayahnya, Mugiyono yang bekerja sebagai Penarik Becak

Semarang - Ribuan pasang mata serentak mengarah pada Raeni, Selasa 10 Juni 2014. Wisudawan dari Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) Unnes ini tiba ke lokasi wisuda dengan kendaraan yang tidak biasa. Bukan mobil mewah atau kendaraan bermotor lainnya.
Dia diantar oleh ayahnya, Mugiyono, menggunakan becak. Iya, dia dibawa menggunakan becak. Ayah Raeni memang bekerja sebagai tukang becak yang setiap hari mangkal tak jauh dari rumahnya di Kelurahan Langenharjo, Kendal.

Mugiyono jadi penarik becak setelah berhenti sebagai karyawan di pabrik kayu lapis. Sebagai tukang becak, penghasilnnya jelas tidak menentu. Sekira Rp10 ribu – Rp 50 ribu. Guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dia juga bekerja sebagai penjaga malam sebuah sekolah dengan gaji Rp450 ribu per bulan.

Meski dari keluarga kurang mampu, Raeni berkali-kali membuktikan keunggulan dan prestasinya. Wanita berparas ayu itu kerap memperoleh beasiswa Bidikmisi dengan indeks prestasi 4. Sempurna.
Prestasi itu dipertahankan hingga ia lulus dan ditetapkan sebagai wisudawan terbaik dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3,96. Tekadnya bagai baja. Raeni akan meraih masa depan yang lebih baik dan membahagiakan keluarga.

"Saya ingin melanjutkan kuliah lagi. Inginnya ke Inggris. Ya, kalau ada beasiswa lagi," kata gadis yang cita-citanya menjadi guru seperti dikutip dari laman Universitas Negeri Semarang.

Cita-cita Raeni menjadi guru didukung Mugiyono. Ia mendukung putri bungsunya itu untuk berkuliah agar bisa menjadi guru sesuai keinginannya.

"Sebagai orangtua hanya bisa mendukung. Saya rela mengajukan pensiun (dari pabrik kayu lapis) agar mendapatkan pesangon," kata pria yang mulai menggenjot becak sejak 2010 itu.

Rektor Universitas Negeri Semarang Prof Dr Fathur Rokhman mengatakan, apa yang dilakukan Raeni membuktikan tidak ada halangan bagi anak dari keluarga kurang mampu agar bisa berkuliah dan berprestasi.

"Meski berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang kurang, Raeni mampu menunjukkan prestasinya. Kami sangat bangga dengan apa yang diraih Raeni," katanya.

Ia bahkan yakin, dalam waktu tak lama lagi akan terjadi kebangkitan. Anak-anak dari keluarga kurang mampu akan segera tampil menjadi kaum terpelajar baru. "Mereka akan tampil sebagai eksekutif, intelektual, pengusaha, bahkan pemimpin republik ini," katanya.

Harapan itu terasa realistis karena jumlah penerima Bidikmisi lebih dari 50.000 per tahun. Unnes sendiri menyalurkan setidaknya 1.850 Bidikmisi setiap tahun.



SEORANG ayah sedang berjalan-jalan dengan dua orang anaknya di sebuah mart besar. Usianya sekitar 30-an. Dua orang anaknya, yang pertama perempuan tampaknya kelas 1 SD. Dan adiknya seorang laki-laki yang masih TK.

Laki-laki itu tampaknya seperti orang kebanyakan biasa saja. Memakai kaos oblong putih, dan celana jeans coklat. Di dagunya ada sedikit jenggot.

Ketika mereka melewati bagian es-krim, anak laki-laki TK-nya berkata, “Ayah, boleh ya aku makan es-krim itu? Teman-temanku suka pada beli di sekolah…”

Ayahnya melirik es-krim itu. Kemudian mengernyitkan dahi.

“Adek,” kata kakaknya yang masih SD itu. “Itukan produk Yahudi.”

Si adik tidak menggubris. Berkata lagi pada ayahnya. “Ayah boleh yaa? Sekali ini saja. Setelah itu nggak lagi-lagi…”

Ayahnya melirik si anak laki-laki. Kemudian tidak menjawab, dan melanjutkan jalannya.

“Jangan, Dek…” si kakak masih berkata.

Anak laki-laki itu masih terus merengek-rengek. Tapi si ayah hanya sesekali tersenyum pada anak laki-lakinya.

Setelah selesai berbelanja, di luar si ayah berkata pada anaknya. “Ini ayah belikan kamu minuman teh…”

Si anak masih terus merenggut.

Si ayah duduk menepi di luar mart itu. Dan berkata lagi, “Kamu tahu, jika kamu tidak makan es-krim itu, kamu bakalan mati ga?”

Si anak menggeleng.

“Kamu bakalan apa-apa nggak kalau nggak makan es krim itu?

Si anak menggeleng lagi.

“Nah, jika ayah membelikan kamu es krim itu, kamu tahu, akan ada anak-anak di Palestina yang seumuran kamu akan mati karena ditembak. Pelurunya itu dibeli dari hasil jualan es-krim itu lho…”

Anak itu diam. Masih merenggut, tapi ia tampak sudah tenang.

“Kamu bilang satu kali ini saja, tapi mungkin lain waktu lagi, kamu juga akan mengatakan seperti itu lagi…” si ayah tersenyum.

Si anak diam. Ia membuka tutup botol minuman tehnya. Menengguknya. Sementara kakaknya duduk di sampingnya dan mengatakan, “Sudah Dek, nanti Bunda akan membuat es-krim yang enak kalau nanti pulang kuliah…”



Sumber: Islampos.com

karyati pemulung naik haji

Probolinggo - Niat dan usaha yang sungguh-sungguh akan mengantarkan seseorang pada sesuatu yang dicita-citakannya. Setidaknya inilah yang diyakini dan diamalkan oleh Karyati, seorang pemulung asal Desa Pondok Wuluh Kecamatan Leces Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Meski secara logika pekerjaan yang dijalaninya merupakan pekerjaan rendahan, tetapi nenek yang berusia sekitar 69 tahun tersebut ternyata mampu mencapai cita-citanya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima naik haji ke tanah suci.

Namun demi bisa mencapai keinginannya tersebut, Karyati telah bekerja sangat keras. Bahkan selama 20 tahun lamanya, wanita paruh baya tersebut menyisihkan sebagian jerih payahnya sebagai pengais barang bekas plastik dan kertas.

Janda renta yang mempunyai 4 (empat) orang anak ini berkeyakinan bahwa suatu saat nanti dirinya bakal bisa naik haji ke tanah suci layaknya orang-orang lain yang berduit. Atas keyakinan tersebut, dirinya selalu menyisihkan hasil dari memulung untuk ditabung dan sebagian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Memang untuk mewujudkan impian naik haji ini penuh perjuangan. Karena saya harus menabung selama 20 tahun lamanya. Tetapi saya yakin Allah pasti mengabulkan doa saya untuk bisa melihat Ka’bah secara langsung,” ujar Karyati.

Menurut Karyati, cita-cita naik haji itu sudah lama terpendam semenjak 2002 lalu. Saat itu dirinya mengaku masih punya toko kelontong di desanya. Masa-masa sulit dilewatinya saat usaha kelontongnya bangkrut di pada tahun 2005. Namun untuk menyambung hidup, Karyati kemudian menjadi seorang pemulung. Meski pekerjaannya terbilang rendah, tetapi itu tidak menyurutkan niatnya untuk bisa meraih cita-citanya untuk menunaikan ibadah haji.

Sekitar tahun 2004, Karyati mulai mendaftarkan diri sebagai haji Kabupaten Probolinggo. Pada waktu itu, tabungannya dari hasil menjadi pemulung sudah mencapai sekitar Rp. 20 juta. Selain dari hasil memulung, uang tersebut didapat dari beberapa sukarelawan.

“Pernah suatu ketika, tepatnya pada tahun 2010 saya pernah ditipu oleh seseorang yang mencoba menawarkan jasa. Namun tanpa disadari saya tertipu sebesar Rp. 10 juta dan uang tersebut tidak dikembalikan meskipun beberapa waktu kemudian akhirnya ditangkap oleh polisi,” jelasnya.

Dan selama mengejar impiannya, Karyati tidak mau kumpul atau tidur di rumah anak-anaknya. Bukannya tidak sayang kepada anak dan cucunya, namun nenek bercucu 12 orang ini tidak mau mengganggu atau menjadi beban hidup anak-anaknya. Dirinya lebih memilih tidur di toko usang miliknya. Terkadang pula tidur di masjid desanya. “Kalau pas bersih-bersih masjid ada orang kasih rejeki, saya tabung,” katanya.

Namun dengan tekad yang kuat, semua kejadian tersebut tidak mematahkan semangat Karyati untuk mewujudkan cita-citanya untuk dapat berangkat haji. “Saya hanya bisa pasrah namun saya tidak mau putus asa untuk tetap bisa berangkat haji ke tanah suci,” terangnya.

Bermodalkan sebuah sepeda buntut, Karyati keliling dari kampung ke kampung mengumpulkan barang bekas. Sebagian hasilnya digunakan untuk makan dan sebagian lain ditabung untuk bisa naik haji. “Dalam sehari, upah memungut barang bekas sebesar Rp. 10 ribu. Yang Rp. 5 ribu ditabung dan yang Rp. 5 ribu untuk makan,” akunya.

Usaha yang dilakukan Karyati tidak sia-sia. Semua hasil jerih payah dan keikhlasan hatinya membawa Karyati berangkat haji di tahun 2013 ini. Karyati direncanakan akan berangkat ke tanah suci pada tanggal 29 September 2013 melalui kloter 43 Embarkasi Juanda, Surabaya. (syamsul akbar-anam/dakwatuna/no.or.id)

Kisah ini datang dari negeri Thailand. Dari tiga puluh tahun lampau. Demi menyembuhkan Ibunya, seorang lelaki kecil mencuri obat-obatan di sebuah toko.

Aksinya ketahuan. Si pemilik toko, seorang Ibu yang galak, dengan penuh amarah mengiring lelaki kecil itu ke jalanan.Di kerumunan orang ramai yang menonton, Ibu ini berkali-kali menghardik, “Apa yang kau curi?” Tak sabar menunggu jabawan, si Ibu merogoh saku lelaki kecil itu. Mengeluarkan botol obat. Lalu dia mendorong-dorong kepala bocah itu. Lelaki kecil itu cuma bisa tertunduk. Malu. Tentu saja ketakutan.Mendengar keriuhan itu, seorang pemilik rumah makan keluar. Dia terenyuh melihat lelaki kecil itu. Mencuri obat demi kesembuhan Ibunya. Pemilik warung makan bertubuh kurus jangkung ini, lalu membeli obat yang dicuri itu. Uang diserahkan kepada Ibu yang terus mengomel itu.

film tiga menitSetelah menyerahkan uang kepada pemilik apotek itu, dia kemudian memerintahkan anak gadisnya yang masih kecil membungkus semangkuk sup. Obat-obatan dan sekantung sup itu kemudian diserahkan kepada bocah kecil itu.Si pencuri kecil itu menatap lelaki jangkung itu dalam-dalam. Berterima kasih dengan tatapan mata, sembari merasa heran. Cuma sejenak, lalu dia berlari pulang.

Tiga puluh tahun kemudian. Lelaki jangkung itu tiba-tiba jatuh tersungkur, sesaat setelah memberi makanan kepada pengemis yang datang ke warung makannya. Anak wanitanya terpekik histeris. Sembari terus menangis mengantar sang ayah ke rumah sakit. Si ayah kurus itu berbaring lemah dengan sejumlah alat tersambung ke tubuh.

Kesulitan sepertinya datang susul menyusul. Di tengah air matanya yang terus berderai, seorang perawat menyodorkan daftar biaya rumah sakit. Dia terkejut. Jumlahnya banyak. Semua keuntungan dari warung kecil itu tak akan sanggup melunasi. Mengumpulkan segenap keberanian dia kemudian menemui dokter. Sang dokter menatapnya dalam-dalam. Lama sekali.

Terjepit di tengah kesulitan seperti itu, anak wanita itu tak punya jalan keluar. Warung, satu-satunya harta sang ayah, harus dijual. Ketika sang ayah berbaring lemah di rumah sakit, dia memasang pengumuman bahwa rumah itu dijual.

Sendirian menjaga sang ayah, bolak-balik rumah sakit, tubuh wanita muda ini lelah. Dia kemudian tertidur tunduk di dipan samping sang ayah. Begitu bangun pagi harinya, dia mendapatkan kertas tagihan dari rumah sakit di tempat tidur itu. Jumlahnya 0 bath. Dia terkejut. Di bawahnya ada catatan. “Semua biaya sudah dibayarkan 30 tahun lalu. Dengan 3 bungkus penghilang rasa sakit dan semanguk sup. Salam hangat, Dr Prajak Arunthong”

Ini kisah rekaan, iklan dari sebuah telepon gengam di Thailand. pada situs Youtube, iklan ini sudah ditonton lebih dari 7,2 juta orang dari seluruh dunia. Banyak sanjungan untuk iklan mengharukan ini. Banyak orang yang mengaku menonton berkali-kali sembari menangis.

Iklan ini ditutup dengan tagline: Memberi adalah komunikasi terbaik.
Salah seorang pengguna internet menilai bahwa bahkan sutradara Hollywood tidak akan mampu membuat film semacam ini. "Hollywood tidak bisa membuat ini. Sebuah film tiga menit membuat pria dewasa menangis," komentarnya. Bagaimana dengan Anda?

tukang loper koran naik haji

Jakarta - Muhammad Anwar, warga Gelagahan, Jombang, Jawa Timur, tampak bangga saat mengenakan seragam jamaah Haji Indonesia. Pria berusia 55 tahun ini akan berangkat ke Tanah Suci bersama 800 jamaah Haji asal Jombang hari ini.


Sehari-hari, Anwar bekerja sebagai loper koran. Tanpa mengenal lelah ia mengemas dan mengantarkan koran. Pekerjaan ini sudah ia lakoni selama 21 tahun.


Meski hidup pas-pasan, sebagai seorang muslim, Anwar bercita-cita pergi Haji. Pada tahun 2008, ia nekat mengikuti program dana talangan haji di sebuah bank. Biaya itu dia peroleh dengan menggadaikan BPKB motornya.


Anwarpun menyisihkan uangnya yang tak seberapa untuk membayar angsuran ke bank. Tak jarang ia kena denda karena terlambat membayar angsuran.


Berkat doa dan kerja keras, dalam waktu lima tahun Anwar bisa melunasi ongkos naik haji. Ia kerap menitikkan airmata haru jika mengingat perjuangannya itu.


"Saya sangat bangga, mendapat kebahagiaan dari Allah. Saya tidak bisa membayangkan, walaupun ada pemotongan kuota, saya terus berdoa dan berdoa, mudah-mudahan saya tidak sampai termasuk yang 20 persen, dan Alhamdulillah, termasuk teman saya semua diberikan kelancaran oleh Allah," ucapnya sambil terisak.


Anwar kini bahagia karena telah bergabung pada kloter 12 embarkasi Surabaya. Bapak tiga orang anak ini berharap bisa menyelesaikan seluruh rangkaian Haji dengan sempurna dan kembali ke Tanah Air menjadi Haji yang mabrur.


 Lihat Videonya disini...





Sumber Viva.co.id


Disuatu tempat di Prancis sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang berkebangsaan Turki berumur 50 tahun bernama Ibrahim.

Ia adalah orangtua yang menjual makanan di sebuah toko makanan. Toko tersebut terletak di sebuah apartemen di mana salah satu penghuninya adalah keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama “Jad” berumur 7 tahun.

Jad, si anak Yahudi Hampir setiap hari mendatangi toko tempat di mana Ibrahim bekerja untuk membeli kebutuhan rumah. Setiap kali hendak keluar dari toko –dan Ibrahim dianggapnya lengah– Jad selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa seizinnya.

Pada suatu hari usai belanja, Jad lupa tidak mengambil cokelat ketika mau keluar, kemudian tiba-tiba Ibrahim memanggilnya dan memberitahu kalau ia lupa mengambil sepotong cokelat sebagaimana kebiasaannya. Jad kaget, karena ia mengira bahwa Ibrahim tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan takut jika saja Ibrahim melaporkan perbuatannya tersebut kepada orangtuanya.

“Tidak apa, yang penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin, dan setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong cokelat, itu adalah milikmu”, ujar Jad sebagai tanda persetujun.

Waktu berlalu, tahun pun berganti dan Ibrahim yang seorang Muslim kini menjadi layaknya seorang ayah dan teman akrab bagi Jad si anak Yahudi

Sudah menjadi kebiasaan Jad saat menghadapi masalah, ia selalu datang dan berkonsultasi kepada Ibrahim. Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim selalu mengambil sebuah buku dari laci, memberikannya kepada Jad dan kemudian menyuruhnya untuk membukanya secara acak. Setelah Jad membukanya, kemudian Ibrahim membaca dua lembar darinya, menutupnya dan mulai memberikan nasehat dan solusi dari permasalahan Jad.

Beberapa tahun pun berlalu dan begitulah hari-hari yang dilalui Jad bersama Ibrahim, seorang Muslim Turki yang tua dan tidak berpendidikan tinggi.

14 Tahun Berlalu
Jad kini telah menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun, sedangkan Ibrahim saat itu berumur 67 tahun.

Alkisah, Ibrahim akhirnya meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan sebuah kotak yang dititipkan kepada anak-anaknya di mana di dalam kotak tersebut ia letakkan sebuah buku yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi kepadanya. Ibrahim berwasiat agar anak-anaknya nanti memberikan buku tersebut sebagai hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi.

Jad baru mengetahui wafatnya Ibrahim ketika putranya menyampaikan wasiat untuk memberikan sebuah kotak. Jad pun merasa tergoncang dan sangat bersedih dengan berita tersebut, karena Ibrahim-lah yang selama ini memberikan solusi dari semua permasalahannya,  dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya.

Hari-haripun berlalu, Setiap kali dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim. Kini ia hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di dalamnya tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap kali ia mendatanginya.

Jad lalu mencoba membuka lembaran-lembaran buku itu, akan tetapi kitab itu berisikan tulisan berbahasa Arab sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke salah seorang temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk membacakan dua lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan Ibrahim dahulu yang selalu memintanya membuka lembaran kitab itu dengan acak saat ia datang berkonsultasi.

Teman Tunisia tersebut kemudian membacakan dan menerangkan makna dari dua lembar yang telah ia tunjukkan. Dan ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena persis ke dalam permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad bercerita mengenai permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman Tunisianya itu memberikan solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari kitab tersebut.

Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, “Buku apa ini?”

Ia menjawab, “Ini adalah Al-Qur’an, kitab sucinya orang Islam!”

Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa takjub,

Jad lalu kembali bertanya, “Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?”

Temannya menjawab, “Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!”

Setelah itu, dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk agama Islam!

Islamkan 6 juta orang
Kini Jad sudah menjadi seorang Muslim, kemudian ia mengganti namanya menjadi Jadullah Al-Qur’ani sebagai rasa takdzim atas kitab Al-Qur’an yang begitu istimewa dan mampu menjawab seluruh problema hidupnya selama ini. Dan sejak saat itulah ia memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi menyebarkan ajaran Al-Qur’an.

Mulailah Jadullah mempelajari Al-Qur’an serta memahami isinya, dilanjutkan dengan berdakwah di Eropa hingga berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani.

Suatu hari, Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju pada gambar benua Afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan dibawah tanda tangan itu tertuliskan ayat. Iapun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.

Beberapa waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika yang di antaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta negara-negara sekitarnya. Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zulu, ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya.

Akhir Hayat Jadullah
Jadullah Al-Qur’ani, seorang Muslim sejati, da’i hakiki, menghabiskan umur 30 tahun sejak keislamannya untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang gersang dan berhasil mengislamkan jutaan orang.

Jadullah wafat pada tahun 2003 yang sebelumnya sempat sakit. Kala itu beliau berumur 45 tahun, beliau wafat dalam masa-masa berdakwah.

Kisah pun belum selesai
Ibu Jadullah Al-Qur’ani adalah seorang wanita Yahudi yang fanatik, ia adalah wanita berpendidikan dan dosen di salah satu perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk Islam pada tahun 2005, dua tahun sepeninggal Jadullah yaitu saat berumur 70 tahun.

Sang ibu bercerita bahwa –saat putranya masih hidup– ia menghabiskan waktu selama 30 tahun berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi Yahudi dengan berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan ilmu dan kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya untuk kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua yang tidak berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk Islam, hal ini tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang benar.

Yang menjadi pertanyaannya, “Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?”

Jadullah Al-Qur’ani bercerita bahwa Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah memanggilnya dengan kata-kata: “Hai orang kafir!” atau “Hai Yahudi!” bahkan Ibrahim tidak pernah untuk sekedar berucap: “Masuklah agama Islam!”

Bayangkan, selama 17 tahun Ibrahim tidak pernah sekalipun mengajarinya tentang agama, tentang Islam ataupun tentang Yahudi. Seorang tua Muslim sederhana itu tak pernah mengajaknya diskusi masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana menuntun hati seorang anak kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur’an.

Kemudian dari kesaksian Dr. Shafwat Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang suatu saat pernah mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas problematika Darfur serta solusi penanganan dari kristenisasi, beliau berjumpa dengan salah satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam melalui Jadullah Al-Qur’ani?, ia menjawab; tidak! namun ia memeluk Islam melalui orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani.

Subhanallah, akan ada berapa banyak lagi orang yang akan masuk Islam melalui orang-orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani. Dan Jadullah Al-Qur’ani sendiri memeluk Islam melalui tangan seorang muslim tua berkebangsaan Turki yang tidak berpendidikan tinggi, namun memiliki akhlak yang jauh dan jauh lebih luhur dan suci.

Begitulah hikayat tentang Jadullah Al-Qur’ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang penulis dapatkan kemudian penulis terjemahkan dari catatan Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai “Syaikh Kaum Revolusioner Mesir”. Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota Lembaga Fatwa Mesir yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo pada hari Jumat, 16 Desember 2011 silam.

Kisah nyata ini layak untuk kita renungi bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di saat banyak orang yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur’ani. Mudah mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid’ah, melaknat, memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim.

Dulu da’i-da’i kita telah berjuang mati-matian menyebarkan Tauhid dan mengislamkan orang-orang kafir, namun kenapa sekarang orang yang sudah Islam malah justru dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita hanya diwajibkan menghukumi sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan masalah batin biarkan Allah yang menghukumi nanti. Kita sama sekali tidak diperintahkan untuk membelah dada setiap manusia agar mengetahui kadar iman yang dimiliki setiap orang.

Bayangkan, Fir’aun yang jelas-jelas kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan orang seperti ia pun harus tetap dengan kata-kata yang lemah lembut, tanpa menyebut dia Kafir Laknatullah! Lalu apakah kita yang hidup di dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi Harun? Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari Fir’aun, di mana Al-Qur’an pun merekam kekafirannya hingga kini?

Lantas alasan apa bagi kita untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur’an? Yaitu dengan Hikmah, Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen yang kuat namun tetap sopan dan santun?

Maka dalam dakwah yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah menyampaikan kebenaran Islam ini.

Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada orang yang kafir, bisa jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah kepadanya sehingga ia masuk Islam.

Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah memusuhi Rasulullah? Namun Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun mendapat hidayah dan akhirnya memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada orang muslim, bisa jadi di akhir hayatnya Allah mencabut hidayah darinya sehingga ia mati dalam keadaan kafir.

Karena sesungguhnya dosa pertama yang dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh serta merasa diri sendiri paling suci sehingga tak mau menerima kebenaran Allah dengan sujud hormat kepada nabi Adam. Oleh karena itu, bisa jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim yang tinggi hati lalu memberikannya kepada seorang kafir yang rendah hati. Segalanya tiada yang mustahil bagi Allah.

Sumber | Hajingfai.blogspot
Powered by Blogger.