Anak - Ayah
Cerita ini adalah kisah nyata. Di Kota Portland, Negara Bagian Oregon, AS, hidup seorang pendeta bersama istrinya juga seorang putra. Putra mereka tersebut telah membawa banyak sekali kerisauan kepada mereka.

Bukan hanya itu saja, putra mereka ini telah meninggalkan rumah selama 3 - 4 tahun lamanya dan sama sekali tidak ada kabar beritanya. Karena itu, pendeta tersebut mencari seorang psikiater untuk mengkonsultasikan masalah ini, pendeta tersebut telah mengungkapkan segala penderitaan hatinya. Psikiater  tersebut menatap dalam-dalam pada pendeta dan berkata, “Sudah berapa lama Anda telah mengutuk anak Anda itu?”

Dengan terkejut dan keheranan pendeta tersebut bertanya, “Anda mengatakan saya telah mengutuk anak saya, apa maksud perkataan Anda itu?”

Psikiater itu menjawab, “Yang saya maksud dengan mengutuk itu artinya membicarakan kejelekannya. Bukankah sejak tadi yang Anda katakan semuanya tentang kejelekan anak Anda. Sudah berapa lamakah Anda berbuat demikian?”

Dengan kepala menunduk pendeta tersebut menjawab, “Memang benar, sejak dia lahir saya sudah mengutuknya sedemikian rupa hingga sekarang, saya sama sekali tidak pernah berkata dengan perkataan yang baik terhadap anak itu.”

Psikiater itu lalu berkata, “Kalau begitu hasil Anda pasti sia-sia belaka, betulkan?”
Pendeta itu menjawab, “Benar.”

Setelah itu Psikiater tersebut berkata lagi, “Saya ingin memberikan tantangan kepada Anda dan istri, dalam dua bulan ke depan, ketika Anda teringat tentang anak itu, Anda harus memberi restu kepadanya, jangan memikirkan ketidak-baikannya. Saya ingin kalian berdoa kepada Tuhan untuk memberikan berkah anak itu. Ketika kalian membicarakan tentang anak itu, saya ingin kalian mengingat sisi baik dari anak itu, semua tentang kebaikan dia.”

Setelah pendeta itu pulang ke rumah, dia memberitahukan hal tersebut kepada sang istri, mereka setuju dengan saran psikiater itu, dan melakukan sesuai anjurannya. Ketika mendoakan anak mereka, memohon kepada Tuhan agar bisa memberi berkah kepadanya. Ketika mereka membicarakan tentang anak mereka, selalu mencoba mengingat kebaikan anak itu. Setiap hari mereka melakukan hal ini secara terus menerus.

Kira-kira setelah lewat 10 hari, ketika pendeta itu sedang membaca buku, telepon rumahnya berdering. Memang benar, orang yang berada di ujung telepon sebelah sana adalah putranya. Sang putra berkata, “Ayah, saya sungguh tidak bisa memastikan mengapa saya telepon mencari ayah, saya hanya ingin memberitahu bahwa selama satu minggu yang lalu, saya selalu teringat pada ayah dan ibu, oleh sebab itu saya hanya ingin menelepon ayah, untuk mengetahui apakah kalian baik-baik saja.”

Ayah tersebut berkata, “Anakku! Ayah benar-benar gembira sekali, engkau telah menelpon ayah.” Kemudian mereka berdua bercengkrama di telepon selama beberapa menit, akhirnya sang ayah bertanya, “Ayah tidak tahu bagaimana maksud hatimu, tetapi apakah kamu mau makan siang bersama pada akhir pekan ini?” Anaknya itu menyetujui dengan bergembira.

Akhir pekan pada waktu jam makan siang, ayah dan anak tersebut saling bertemu. Si putra mengenakan pakaian yang sudah usang, rambutnya tampak awut-awutan. Dulu, si ayah pasti akan menegur keras putranya, namun kali ini ayah itu bersikap menerima terbuka putranya, dan dalam hati mengucapkan syukur. Setelah dia menanyakan beberapa pertanyaan kepada putranya, dia lalu diam mendengarkan jawaban sang putra. Ketika putranya menjawab pertanyaan dengan benar, dia juga membenarkan.

Perjumpaan makan siang hampir selesai, si putra memandang ayahnya dan berkata, “Ayah, saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi saya sangat menikmati kebersamaan ini.” Ayahnya lalu menjawab, “Nak, ayah juga merasakan hal yang sama!”

Putra itu berkata lagi, “Oh ya, ayah bolehkah malam ini saya bermalam di rumah? Hanya malam ini saja, saya ingin menjenguk ibu dan saudara lain, juga ingin tidur di kasur saya yang lama itu.”
Ayah ini menjawab, “Sudah tentu boleh! Kami merasa sangat senang sekali, kamu boleh tinggal bersama kami lagi.”

Dalam sehari ini, hati ayah itu merasa terkejut bercampur gembira, dia menyadari ketika dia berhenti mengutuk dan menggantinya dengan restu, keadaannya mengalami perubahan yang sangat drastis.

Malam itu, ketika sang putra sedang merebahkan diri di atas ranjang, ayahnya masuk ke dalam kamar dan duduk di samping anaknya lalu berkata, “Anakku, selama bertahun-tahun ini sikap ayah terhadapmu sangat tidak baik, maukah kamu memaafkan ayah!”

Anak itu menjawab, “Ayah, saya tentunya sudah memaafkan ayah!” Kemudian anak itu duduk dan memeluk ayahnya, sejak saat itu hubungan mereka berdua menjadi baik.

Namun hubungan baik ini sebenarnya dimulai sejak kapan? Dimulai sejak kedua orangtua tersebut mulai bersyukur dan merestui anak mereka.

Saya tidak begitu memahami apa sebabnya, tetapi saya tahu ketika kita mau bersyukur dan merestui orang lain serta tidak lagi mengutuk orang tersebut, maka Tuhan juga bisa memperhatikan doa restu kita. Buah apa yang kita tanamkan hasilnya sudah pasti juga adalah buah itu pula. Jika kita menaburkan bibit kutukan, maka hasil yang akan kita terima juga kutukan pula; Jika kita menaburkan benih bersyukur, maka hasil yang akan kita terima juga bersyukur.


Post a Comment

Powered by Blogger.