Setelah didoakanya, sebuah keajaiban tiba-tiba terjadi. Aku yang semula mengalami nyeri kepala dan sekujur tubuh terasa pegal dan linu, pelan-pelan mulai pulih kembali. Aku yang sebelumnya tidak mengenal siapa-siapa, setelah itu mulai bisa mengenal orang satu persatu; mulai dari keluarga hingga teman-teman dekatku. Sedikit demi sedikit, memoriku kembali pulih, daya ingatku bekerja kembali. Aku pun kembali belajar mengenali, menulis dan menghapal nama teman-temanku.
Firman Allah swt dalam surat. al-Maa`un di atas kiranya tak perlu disangsikan lagi. Dia yang Maha Agung begitu tegas mewanti-wanti hamba-Nya untuk tidak menghardik anak yatim. Sebab, bila hal itu dilanggar kelak sebuah balasan Allah bisa saja terjadi.
Dan sebagai bahan teguran dan peringatan, tak sedikit kisah orang-orang yang mendapatkan balasan Allah lantaran menghardik anak yatim itu. Berkat kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, kita bisa saja mengalami suatu hal yang tidak pernah kita duga-duga. Pasalnya, anak yatim itu anak yang tengah dititipkanAllah untuk kita sayangi dan santuni, bukan sebaliknya, kita sakiti.
Anehnya, kita kerapkali baru tersadar dengan peringatan Allah itu setelah titah-Nya kita langgar. Hal inilah yang pernah kualami kurang lebih delapan tahun yang lalu. Akibat menghardik anak yatim yang masih sepupuku, aku pun mendapat balasan Allah. Aku mengalami kecelakaan. Aku pun sempat hilang ingatan. Aku amnesia.
Untung, sepupuku yang yatim itu mau memaafkanku. Ia mau mendoakan untuk kesembuhanku. Atas kuasa Allah dan berkat doa sepupuku itu, aku sembuh dan sadar kembali. Berikut ini kisahku yang semoga menjadi bahan pelajaran untuk pembaca lainnya.
Tidak Membelikan Tas
Peristiwa ini terjadi sekitar 8 tahun yang lalu. Saat itu, aku masih seorang remaja yang baru gede (ABG). Sebagaimana lazimnya remaja yang suka bersenang-senang, demikian pula diriku. Kesenangan itulah yang membuatku kerap tidak menghiraukan hak-hak orang lain, termasuk hak anak yatim yang seharusnya dimuliakan.
Syahdan, suatu hari, Siti Rahayu, perempuan yatim yang juga sepupuku, menitipkan uang kepadaku untuk dibelikan tas punggung. Tapi, amanah yang diberikannya itu justru tidak kutunaikan. Lebih dari itu, aku malah menggunakan uang titipanya untuk bersenang-senang. Bersama teman-teman, kugunakan uangnya untuk berfoya-foya.
Waktu berlalu. Tibalah saat Rahayu menagih tas titipannya. “Ucu, mana tas titipanku kemarin?”
Tentu saja, aku blingsatan atas pertanyaanya itu. Aku bingung menjawab sejujurnya. Sejenak, aku terdiam, memikirkan apa yang harus kulakukan. Akhirnya, aku tidak menjawab sepatah kata pun.
“Ucu, mana tas itu?” sepupuku kembali bertanya, penasaran.
Dan bingung masih menyergapku. Apa yang harus kukatakan. Aku pun kembali terdiam. Ia kian penasaran dan terus merangsek diriku untuk cepat menjawabnya. Akhirnya aku pun menjawab sembarangan dan asal-asalan, “Aku belum membelikan tas itu. Mungkin besok…”
“Kenapa tidak segera kau belikan? Pasti kamu tidak mau membelikannya karena aku tidak memberimu uang lebih untuk ongkos jalanmu, ya?”
Ucapan sepupuku itu membuat telingaku seperti tersengat aliran listrik, semakin membuatku ditikam amarah. “Tidak… !Masalahnya...tempat itu jauh...” jawabku sekenanya.
Sayangnya, jawabanku itu tidak membuatnya tenang. Apalagi, keesokan harinya aku belum juga pergi ke toko tas untuk memenuhi janjiku, membelikan tas punggung titipannya. Tak aneh, bila ia pun kembali bertanya, “Ucu, mana tas titipanku…?”
Pertanyaan sepupuku itu membuatku tersudut di lorong kehampaan. Aku pun diliputi perasaan benci padanya, lantaran dia kembali menanyakan titipan tas punggung itu, sementara uang yang ia titipkan sudah ludes karena telah kugunakan untuk bersenang-senang.
Aku seketika dibakar api amarah. Aku tidak terima pertanyaan yang seolah-olah menghakimi diriku. Ubun-ubunku terasa panas. Otakku tidak lagi bisa berpikir jernih. Ia begitu menyengatku hingga, tanpa berpikir lagi, kumuntahkan kemarahanku kepadanya. Tiba-tiba, kuambil sebatang kayu (dari patahan bangku). Kupukul pundaknya dan kutampar kepalanya dengan kesalnya. Kulihat memar dan luka di bagian kepalanya. Ia pun menangis. Tiba-tiba aku tersadar kembali.
Segumpal penyesalan merasuk di hatiku . Seharusnya, aku tak bertindak seperti itu. Seharusnya, aku memberikan kasih sayang padanya, menolongnya dalam kesusahan, agar sepupuku itu sabar dan tabah jadi anak yatim dalam menjalani hidup untuk meraih cita-cita yang diimpikannya.
Tapi, semua itu tidak aku pikirkan. Aku jadi sedih.
Balasan dari Allah
Dua bulan setelah menganiaya anak yatim yang masih sepupuku itu, Allah memberi tamparan kepadaku. Kala itu, ketika mengendarai sepeda motor bersama seorang teman untuk nonton konser musik di sebuah mal di Karawang, peristiwa nahas menimpaku.
Dalam perjalanan menuju mal itu, kami mengalami kecelakaan tragis di jalan beraspal di Lemah Abang Citaryk, daerah Jatirejo, Kecamatan Cikararang Timur, persis daerah Persawahan, 100 meter dari pintu lintasan kereta api. Sewaktu kami menyalip bis berkecepatan tinggi, tanpa kami duga, ternyata ada truk melaju begitu kencangnya. Kami tak bisa menghindar dari momen yang tak menguntungkan itu. Akhirnya, kami menubruk truk yang melaju dari depan itu.
Setelah motor yang kami kendarai itu menubruk truk, aku jatuh terpelanting di jalan beraspal. Tubuhku memantul dan lantas tersuruk ke pinggiran jalan beraspal, yang penuh kerikil tajam. Seketika aku pun mengalami pendarahaan hebat dan patah tulang.
Kejadian itu seperti sebuah mimpi. Aku seperti sedang mengalami mati suri. Aku tak sadarkan diri. Konon, dari cerita yang sempat kudengar, banyak petani yang kebetulan bercocok tanam di sawah berlarian menolongku, dan segera melaporkan tragedi kecelakaan itu ke aparat setempat (polisi). Karena kondisiku sedang kritis, maka aku pun dilarikan ke rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Medika Cikarang Baru.
Sempat Hilang Ingatan
Di Rumah Sakit Medika Cikarang Baru itu, aku dirawat kurang lebih selama dua belas hari. Selain mengalami pendarahan dan patah tulang, aku ternyata mengalami hilang ingatan (amnesia). Keluargaku panik sekali dan bingung bukan main. Saat bingung itulah, saudara kandung Siti Rahayu yang tahu aku kerap menganiaya sepupuku yang yatim berinisiatif untuk meminta maaf. Bahkan, paman Siti Rahayu memintanya untuk mendoakanku agar segera sembuh dan pulih kembali.
Saat itu, kata keluargaku, aku hampir amnesia seumur hidup. Bermacam-macam obat yang diberikan orangtua telah aku konsumsi. Aku diingatkan dengan sejumlah foto orang yang pernah kukenal sejak kecil. Juga foto-foto kedua adikku. Aku diminta belajar terus-menerus untuk mengenal huruf-huruf abjad agar kembali ingat dan sembuh dari penyakitku seperti sedia kala. Bermacam cara telah diterapkan dan dipraktekkan kedua orangtuaku, tetapi belum juga memberikan hasil.
Akhirnya, Siti Rahayu, anak yatim yang masih sepupuku itu, mau memaafkanku. Bahkan ia mau mendoakanku agar lekas sembuh. Waktu itu, Sity Rahayu memintaku untuk bersabar menghadapi cobaan itu. Ia mendoakanku seraya mengutip QS. Yaasiin [36]: 83, “Fa subhaana alladzy biyadihi malakutu kulli syaiin wa ilaihi turja’un..” [Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Setelah didoakanya, sebuah keajaiban tiba-tiba terjadi. Aku yang semula mengalami nyeri kepala dan sekujur tubuh terasa pegal dan linu, pelan-pelan mulai pulih kembali. Aku yang sebelumnya tidak mengenal siapa-siapa, setelah itu mulai bisa mengenal orang satu persatu; mulai dari keluarga hingga teman-teman dekatku. Sedikit demi sedikit, memoriku kembali pulih, daya ingatku bekerja kembali. Aku pun kembali belajar mengenali, menulis dan menghapal nama teman-temanku.
Setelah terpuruk dalam kondisi patah tulang, nyeri bagian kepala dan hilang ingatan selama satu bulan dua belas hari, akhirnya kesehatanku pulih kembali. Dan kesembuhanku ini kiranya karena Allah swt mengabulkan doa anak yatim yang telah kuaniaya itu, sepupuku yang sudah kuzalimi itu. Ah, aku kian menyesal. Aku merasa berdosa sekali kepadanya.
Aku yang sudah sering menzaliminya, merampas hak miliknya, tetapi masih mau memaafkanku, dan bahkan mendoakan kesembuhan diriku. Sejak kejadian itu, aku sadar bahwa Allah telah memberi teguran kepadaku lantaran aku pernah menghardik dan menganianya anak yatim yang masih sepupuku.
Kini, aku sadar bahwa merampas hak dan menganiaya anak yatim adalah dosa besar. Aku juga sadar bahwa menghardik anak yatim bisa mendatangkan balasan dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Bahkan, aku sepenuhnya sadar bahwa doa anak yatim itu sungguh-sungguh mustajab dan makbul, karena anak yatim itu adalah titipan Allah yang seharusnya disantuni dan disayangi, bukan untuk dizalimi atau dihardik.
Bahkan, Nabi Muhammad saw dalam haditsnya sering menyinggung bahwa ia dan anak yatim itu serupa telunjuk dan jari manis. Hal ini menggambarkan betapa Nabi sangat mengasihi anak yatim. Yah, ajaran agama memang meminta kita untuk menyayangi anak yatim. Bahkan, konon, jika kita sering berbuat baik kepada anak yatim, entah itu menyantuni, menyekolahkan hingga mengasuhnya, banyak anugerah Allah yang dilimpahkan kepada kita. Sebab, doa anak-anak yatim yang tulus sering memperlancar usaha kita. Hal ini, tentu saja, selain kita mendapatkan nikmat dunia, tapi juga mendapat keridhaan Allah.
Namun sebaliknya, apabila kita menganiaya dan menzalimi mereka, maka Allah akan melimpahkan senarai siksa pedih, baik dunia maupun akhirat kelak. Na’udzubillah.
Pedoman itulah yang saat ini kupegang dan coba kujalani. Sebenanrnya kedua orangtuaku telah mengajarkan agama kepadaku, termasuk soal penghargaan terhadap anak yatim itu. Tetapi aku tidak mengindahkannya. Aku hanyut dalam dunia pergaulan anak sekarang yang lebih banyak foya-foya dan melanggar rambu-rambu Allah. Hingga Allah kemudian menyadarkanku dengan kejadian kecelakaan tragis yang hampir merenggut ingatanku itu.
Maka, setelah sembuh, aku langsung meminta maaf kepada Siti Rahayu, sepupuku yang yatim itu. Kini, dia sudah kuanggap seperti adik sendiri, dan aku tidak akan menzalami dan menghardiknya lagi.
Kini aku sudah pulih dan sembuh seperti sedia kala. Meski sesekali kondisiku bisa kumat. Aku kadang-kadang masih merasakan nyeri di kepala jika sedang banyak pikiran atau saking pusingnya. Kendati demikian, aku bersyukur kepada Allah, karena Ia telah mengembalikan daya ingatanku. Aku tidak tahu, apa jadinya jika sepupuku yang yatim dan dulu sering kuzalami itu tidak mau memaafkan dan mendoakan kesembuhanku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi kepadaku.
Untuk itu, aku berharap cerita ini bisa menyadarkan pembaca semua bahwa anak yatim itu adalah titipan Allah, dimana kita jangan sekali-kali menghardiknya apalagi sampai tega menganiayanya. Bukankah Allah swt dengan tegas telah memperingatkan kita semua bahwa menghardik anak yatim itu termasuk mendustakan agama, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur`an, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim” (QS. al-Ma`un [117]: 1-2).
Sumber
Post a Comment